Nama : Zulhijjatul Harmi
Kelas : XI IPA-2
Mata pelajaran : Sejarah
BAB
I
KERAJAAN-
KERAJAAN HINDU-BUDDHA DAN ISLAM
DI
NUSANTARA
I. Asal
-Usul Agama Hindu-Buddha di Indonesia
1. Agama Hindu
Agama
Hindu berkembang di India pada ± tahun 1500 SM. Sumber ajaran Hindu terdapat
dalam kitab sucinya yaitu Weda. Kitab Weda terdiri atas 4 Samhita atau
“himpunan” yaitu:
1.
Reg Weda, berisi syair
puji-pujian kepada para dewa.
2.
Sama Weda, berisi
nyanyian-nyanyian suci.
3.
Yajur Weda, berisi
mantera-mantera untuk upacara keselamatan.
4.
Atharwa Weda, berisi
doa-doa untuk penyembuhan penyakit.
Di
samping kitab Weda, umat Hindu juga memiliki kitab suci lainnya yaitu:
1.
Kitab Brahmana, berisi
ajaran tentang hal-hal sesaji.
2.
Kitab Upanishad, berisi
ajaran ketuhanan dan makna hidup.
Agama
Hindu menganut polytheisme (menyembah banyak dewa), diantaranya Trimurti atau
“Kesatuan Tiga Dewa Tertinggi” yaitu:
1.
Dewa Brahmana, sebagai
dewa pencipta.
2.
Dewa Wisnu, sebagai dewa
pemelihara dan pelindung.
3.
Dewa Siwa, sebagai dewa
perusak.
Selain
Dewa Trimurti, ada pula dewa yang banyak dipuja yaitu Dewa Indra pembawa hujan
yang sangat penting untuk pertanian, serta Dewa Agni (api) yang berguna untuk
memasak dan upacara-upacara keagamaan. Menurut agama Hindu masyarakat dibedakan
menjadi 4 tingkatan atau kasta yang disebut Caturwarna yaitu:
1.
Kasta Brahmana, terdiri
dari para pendeta.
2.
Kasta Ksatria, terdiri
dari raja, keluarga raja, dan bangsawan.
3.
Kasta Waisya, terdiri
dari para pedagang, dan buruh menengah.
4.
Kasta Sudra, terdiri dari
para petani, buruh kecil, dan budak.
Selain
4 kasta tersebut terdapat pula golongan pharia atau candala, yaitu orang di
luar kasta yang telah melanggar aturan-aturan kasta.
Orang-orang
Hindu memilih tempat yang dianggap suci misalnya, Benares sebagai tempat
bersemayamnya Dewa Siwa serta Sungai Gangga yang airnya dapat mensucikan dosa
umat Hindu, sehingga bisa mencapai puncak nirwana.
2. Agama Buddha
Agama
Buddha diajarkan oleh Sidharta Gautama di India pada tahun ± 531 SM. Ayahnya
seorang raja bernama Sudhodana dan ibunya Dewi Maya. Buddha artinya orang yang
telah sadar dan ingin melepaskan diri dari samsara.
Kitab
suci agama Buddha yaitu Tripittaka artinya “Tiga Keranjang” yang ditulis dengan
bahasa Poli. Adapun yang dimaksud dengan Tiga Keranjang adalah:
a.
Winayapittaka : Berisi
peraturan-peraturan dan hukum yang harus dijalankan oleh umat Buddha.
b.
Sutrantapittaka : Berisi
wejangan-wejangan atau ajaran dari sang Buddha.
c.
Abhidarmapittaka : Berisi
penjelasan tentang soal-soal keagamaan.
Pemeluk
Buddha wajib melaksanakan Tri Dharma atau “Tiga Kebaktian” yaitu:
1.
Buddha yaitu berbakti
kepada Buddha.
2.
Dharma yaitu berbakti
kepada ajaran-ajaran Buddha.
3.
Sangga yaitu berbakti
kepada pemeluk-pemeluk Buddha.
Disamping
itu agar orang dapat mencapai nirwana harus mengikuti 8 (delapan) jalan
kebenaran atau Astavidha yaitu:
1.
Pandangan yang benar.
2.
Niat yang benar.
3.
Perkataan yang benar.
4.
Perbuatan yang benar.
5.
Penghidupan yang benar.
6.
Usaha yang benar.
7.
Perhatian yang benar.
8.
Bersemedi yang benar.
Karena
munculnya berbagai penafsiran dari ajaran Buddha, akhirnya menumbuhkan dua
aliran dalam agama Buddha yaitu:
1.
Buddha Hinayana, yaitu
setiap orang dapat mencapai nirwana atas usahanya sendiri.
2.
Buddha Mahayana, yaitu
orang dapat mencapai nirwana dengan usaha bersama dan saling membantu.
Pemeluk
Buddha juga memiliki tempat-tempat yang dianggap suci dan keramat yaitu:
1.
Kapilawastu, yaitu tempat
lahirnya Sang Buddha.
2.
Bodh Gaya, yaitu tempat
Sang Buddha bersemedi dan memperoleh Bodhi.
3.
Sarnath/ Benares, yaitu
tempat Sang Buddha mengajarkan ajarannya pertama kali.
4.
Kusinagara, yaitu tempat
wafatnya Sang Buddha.
II. Proses
Masuk dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Hindu-Buddha
Pada
permulaan tarikh masehi, di Benua Asia terdapat dua negeri besar yang tingkat
peradabannya dianggap sudah tinggi, yaitu India dan Cina. Kedua negeri ini
menjalin hubungan ekonomi dan perdagangan yang baik. Arus lalu lintas
perdagangan dan pelayaran berlangsung melalui jalan darat dan laut. Salah satu
jalur lalu lintas laut yang dilewati India-Cina adalah Selat Malaka. Indonesia
yang terletak di jalur posisi silang dua benua dan dua samudera, serta berada
di dekat Selat Malaka memiliki keuntungan, yaitu:
1.
Sering dikunjungi
bangsa-bangsa asing, seperti India, Cina, Arab, dan Persia,
2.
Kesempatan melakukan
hubungan perdagangan internasional terbuka lebar,
3.
Pergaulan dengan
bangsa-bangsa lain semakin luas, dan
4.
Pengaruh asing masuk ke
Indonesia, seperti Hindu-Budha.
Keterlibatan
bangsa Indonesia dalam kegiatan perdagangan dan pelayaran internasional menyebabkan
timbulnya percampuran budaya. India merupakan negara pertama yang memberikan
pengaruh kepada Indonesia, yaitu dalam bentuk budaya Hindu. Ada beberapa
hipotesis yang dikemukakan para ahli tentang proses masuknya budaya
Hindu-Buddha ke Indonesia.
1. Hipotesis Brahmana
1. Hipotesis Brahmana
Hipotesis
ini mengungkapkan bahwa kaum brahmana amat berperan dalam upaya penyebaran
budaya Hindu di Indonesia. Para brahmana mendapat undangan dari penguasa
Indonesia untuk menobatkan raja dan memimpin upacara-upacara keagamaan. Pendukung
hipotesis ini adalah Van Leur.
2. Hipotesis Ksatria
Pada
hipotesis ksatria, peranan penyebaran agama dan budaya Hindu dilakukan oleh
kaum ksatria. Menurut hipotesis ini, di masa lampau di India sering terjadi
peperangan antargolongan di dalam masyarakat. Para prajurit yang kalah atau
jenuh menghadapi perang, lantas meninggalkan India. Rupanya, diantara mereka
ada pula yang sampai ke wilayah Indonesia. Mereka inilah yang kemudian berusaha
mendirikan koloni-koloni baru sebagai tempat tinggalnya. Di tempat itu pula
terjadi proses penyebaran agama dan budaya Hindu. F.D.K. Bosch adalah salah
seorang pendukung hipotesis ksatria.
3. Hipotesis Waisya
Menurut
para pendukung hipotesis waisya, kaum waisya yang berasal dari kelompok
pedagang telah berperan dalam menyebarkan budaya Hindu ke Nusantara. Para
pedagang banyak berhubungan dengan para penguasa beserta rakyatnya. Jalinan
hubungan itu telah membuka peluang bagi terjadinya proses penyebaran budaya
Hindu. N.J. Krom adalah salah satu pendukung dari hipotesis waisya.
4. Hipotesis Sudra
Von
van Faber mengungkapkan bahwa peperangan yang tejadi di India telah menyebabkan
golongan sudra menjadi orang buangan. Mereka kemudian meninggalkan India dengan
mengikuti kaum waisya. Dengan jumlah yang besar, diduga golongan sudralah yang
memberi andil dalam penyebaran budaya Hindu ke Nusantara.
Selain pendapat di atas, para ahli menduga banyak pemuda di wilayah Indonesia yang belajar agama Hindu dan Buddha ke India. Di perantauan mereka mendirikan organisasi yang disebut Sanggha. Setelah memperoleh ilmu yang banyak, mereka kembali untuk menyebarkannya. Pendapat semacam ini disebut Teori Arus Balik.
Pada
umumnya para ahli cenderung kepada pendapat yang menyatakan bahwa masuknya
budaya Hindu ke Indonesia itu dibawa dan disebarluaskan oleh orang-orang
Indonesia sendiri. Bukti tertua pengaruh budaya India di Indonesia adalah
penemuan arca perunggu Buddha di daerah Sempaga (Sulawesi Selatan). Dilihat
dari bentuknya, arca ini mempunyai langgam yang sama dengan arca yang dibuat di
Amarawati (India). Para ahli memperkirakan, arca Buddha tersebut merupakan
barang dagangan atau barang persembahan untuk bangunan suci agama Buddha.
Selain itu, banyak pula ditemukan prasasti tertua dalam bahasa Sanskerta dan
Malayu kuno. Berita yang disampaikan prasasti-prasasti itu memberi petunjuk
bahwa budaya Hindu menyebar di Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi.
A.
Kerajaan Kutai
1. Sejarah
Sejarah
mengenai kerajaan Kutai berikut terbagi menjadi dua fase: (1), era Kutai
Martadipura, dan (2), era Kutai Kartanegara. Berikut ini sekilas sejarahnya.
a. Kutai
Martadipura
Berdasarkan
data tektual tertua yang ditemukan, Kutai merupakan kerajaan tertua di
Indonesia. Kerajaan ini diperkirakan muncul pada abad 5 M, atau ± 400 M.
Keberadaan kerajaan tersebut diketahui berdasarkan prasasti berbentuk
Yupa/tiang batu berjumlah 7 buah, yang ditemukan di daerah Muara Kaman,
Kabupaten Kutai Kartanegara. Prasasti Yupa yang menggunakan huruf Pallawa dan
bahasa Sansekerta tersebut menceritakan tentang seorang raja bernama
Mulawarman, yang menjadi raja di Kerajaan Kutai Martadipura. Raja Mulawarman
adalah putra Raja Aswawarman, dan cucu dari Maharaja Kudungga. Pengetahuan
mengenai keberadaan Kerajaan Kutai Martadipura ini sangat minim. Selama ini,
para arkeologi amat bertumpu pada informasi tertulis yang terdapat pada
prasasti dan Salasilah Kutai.
b.
Kutai Kartanegara Ing Martadipura
Secara umum, penelitian sejarah mengenai Kutai amat
kurang. Bahkan, situs purbakala tempat ditemukannya peninggalan Kerajaan Kutai
banyak yang rusak akibat kegiatan penambangan. Periode gelap sejarah Kutai ini
sedikit terkuak pada abad 13 ke atas, seiring berdirinya Kerajaan Kutai
Kartanegara, dengan raja pertama Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Pusat
kerajan berada di Tepian Batu atau Kutai Lama. Dalam perkembangannya, Raja
Kutai Kartanegara, Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan
Kerajaan Kutai Martadipura pada abad ke-16, dan menyatukannya dengan
kerajaannya, Kutai Kartanegara. Selanjutnya, gabungan dua kerajaan tersebut
dinamakannyaKutai Kartanegara Ing Martadipura.
Pada abad ke-17, Islam mulai mulai masuk dan diterima
dengan baik di Kerajaan Kutai Kartanegara. Selanjutnya, Islam menjadi agama
resmi di kerajaan ini, dan gelar raja diganti dengan sultan. Sultan yang
pertama kali menggunakan nama Islam adalah Sultan Aji Muhammad Idris
(1735-1778). Di era pemerintahan Sultan Aji Muhammad Idris, ia bersama
pengikutnya berangkat ke daerah Wajo untuk membantu Sultan Wajo Lamaddukelleng
yang juga menantunya itu, berperang melawan VOC Belanda. Selama Sultan pergi,
kerajaan dipimpin oleh sebuah Dewan Perwalian. Pada tahun 1739, Sultan A.M.
Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, tahta kerajaan direbut
oleh Aji Kado, yang sebenarnya tidak berhak atas tahta kerajaan. Dalam
peristiwa perebutan tahta ini, Putera Mahkota Aji Imbut yang masih kecil
terpaksa dilarikan ke Wajo, tanah kakeknya. Sejak itu, Aji Kado secara resmi
berkuasa di Kutai dengan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin. Setelah dewasa,
Aji Imbut sebagai putera mahkota yang sah dari Kesultanan Kutai Kartanegara
kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada
mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara
dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini
dilaksanakan di Mangkujenang (Samarinda Seberang). Sejak itu, dimulailah
perlawanan terhadap Aji Kado. Perlawanan berlangsung dengan cara mengembargo
Pemarangan, ibukota Kutai Kartanegara.Dalam perlawanan ini, Aji Imbut dibantu
oleh para bajak laut dari Sulu. Pemarangan mengalami kesulitan untuk menumpas
blokade Aji Imbut yang dibantu para bajak laut ini. kemudian Aji Kado meminta
bantuan VOC, namun tidak bisa dipenuhi oleh Belanda. Akhirnya, Aji Imbut
berhasil merebut kembali tahta Kutai Kartanegara dan menjadi raja dengan
gelarSultan Aji Muhammad Muslihuddin. Sementara Aji Kado dihukum mati dan
dimakamkan diPulau Jembayan.Setelah menjadi raja, Aji Imbut memindahkan ibukota
Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782.
Perpindahan ini dilakukan untuk menghapus kenangan pahit masa pemerintahan Aji
Kado, dan juga, Pemarangan (ibukota sebelumnya)dianggap telah kehilangan
tuahnya. Karena raja berpindah ke Tepian Pandan, maka nama Tepian Pandan kemudian
diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja. Lambatlaun, Tangga Arung
disebut orang dengan Tenggarong. Nama tersebut tetap bertahan hingga saat ini.
Pada tahun 1883, Aji Imbut mangkat dan digantikan oleh Sultan Aji Muhammad
Salehuddin.
c.
Era Kolonial Eropa
Hubungan dengan Eropa diawali dengan datangnya dua buah
kapal dagang Inggris pimpinan James Erskine Murray pada tahun 1844. Inggris
datang untuk meminta tanah tempat mereka mendirikan pos dagang. Inggris juga
menuntut hak eksklusif untuk menjalankan kapal uap di perairan Mahakam.
Permintaan Inggris ditolak Sultan A.M. Salehuddin. Selanjutnya, Sultan hanya
mengizinkan Murray berdagang di wilayah Samarinda saja. Murray tidak puas
dengan keputusan Sultan ini. Karena itu, Murray kemudian melepaskan tembakan
meriam ke arah istana. Pasukan kerajaan Kutai melakukan perlawanan hingga
mereka berhasil mengalahkan
Inggris.
Pasukan Inggris melarikan diri, sementara Murray sendiri tewas dalam
pertempuran tersebut.
Insiden pertempuran di Tenggarong ini sampai ke pihak
Inggris. Sebenarnya Inggris hendakmelakukan serangan balasan terhadap Kutai,
namun ditanggapi oleh pihak Belanda, bahwa Kutai adalah salah satu bagian
wilayah Hindia Belanda. Oleh karena itu, masalah ini menjadi tanggungjawab
Belanda. Sebagai tindak lanjut, Belanda kemudian mengirimkan armadanya untuk
menyerang Kutai. Dalam pertempuran mempertahankan Tenggarong, Panglima
KutaiAwang Lor gugur di medan pertempuran. Sementara Sultan A.M. Salehuddin
diungsikan ke Kota Bangun. Sejak saat itu, Kutai takluk di bawah kekuasaan
Belanda. Sebagai tindak lanjut, tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin
harus menandatangani perjanjian dengan Belanda, yang berisi pengakuan dan
ketundukan pada Belanda. Perwakilan Belanda berkedudukan di Banjarmasin. Pada
tahun 1863, kerajaan Kutai Kartanegara kembali mengadakan perjanjian dengan
Belanda. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa, Kerajaan Kutai Kartanegara
menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda. Tahun 1888, pertambangan
batubara pertama di Kutai dibuka di Batu Panggal oleh insinyur tambang asal
Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletakkan dasar bagi eksploitasi minyak
pertama di wilayah Kutai. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya alam di
Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman.
Ketika Jepang menduduki wilayah Kutai pada tahun 1942,
Sultan Kutai kembali harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Ketika itu,
Jepang memberi Sultan gelar kehormatan Koo dengan nama kerajaan Kooti.
Ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945. Kesultanan
Kutai Kartanegara dengan status Daerah Swapraja, masuk dalam Federasi
Kalimantan Timur bersama-sama daerah kesultanan lainnya, seperti Bulungan,
Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir. Kemudian dibentuk pula Dewan Kesultanan.
Pada 27 Desember 1949, Kutai masuk dalam Republik Indonesia Serikat.
2.
Silsilah
Hingga saat ini, para arkeolog belum mengetahui secara
lengkap silsilah para raja di era Kutai Martadipura. Tapi diyakini bahwa,
pendiri keluarga atau dinasti kerajaan ini adalah Aswawarman. Dalam prasasti
Yupa juga dijelaskan bahwa, Aswawarman disebut sebagai Dewa Ansuman/Dewa
Matahari dan dipandang sebagai Wangsakerta, atau pendiri keluarga raja. Ini
menunjukkan bahwa, Asmawarman sudah menganut agama Hindu dan dipandang sebagai
pendiri keluarga atau dinasti dalam Agama Hindu. Sebelum Aswawarman, yang
berkuasa di Kutai Martadipura adalah Maharaja Kudungga. Berbeda dengan Kutai
Martadipura, silsilah para raja di era Kutai Kartanegara yang berdiri di abad
ke-13 bisa dilacak secara lengkap. Berikut urutan raja-raja yang berkuasa
hingga saat ini.
1.
Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325)
2.
Aji Batara Agung Paduka Nira (1325-1360)
3.
Aji Maharaja Sultan (1360-1420)
4.
Aji Raja Mandarsyah (1420-1475)
5.
Aji Pangeran Tumenggung Bayabaya (1475-1545)
6.
Aji Raja Mahkota Mulia Alam (1545-1610)
7.
Aji Dilanggar (1610-1635)
8.
Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa ing Martapura (1635-1650)
9.
Aji Pangeran Dipati Agung ing Martapura (1650-1665)
10.
Aji Pangeran Dipati Maja Kusuma ing Martapura (1665-1686)
11.
Aji Ragi gelar Ratu Agung (1686-1700)
12.
Aji Pangeran Dipati Tua (1700-1730)
13.
Aji Pangeran Anum Panji Mendapa ing Martapura (1730-1732)
14.
Aji Muhammad Idris (1732-1778)
15.
Aji Muhammad Aliyeddin (1778-1780)
16.
Aji Muhammad Muslihuddin (1780-1816)
17.
Aji Muhammad Salehuddin (1816-1845)
18.
Aji Muhammad Sulaiman (1850-1899)
19.
Aji Muhammad Alimuddin (1899-1910)
20.
Aji Muhammad Parikesit (1920-1960)
21.
H. Aji Muhammad Salehuddin II (1999-kini)
3.
Periode Pemerintahan
Jika dirunut, masa pemerintahan Kutai Martadipura berlangsung
sejak masa Kudungga pada abad ke-5 hingga digabungnya kerajaan ini pada abad
ke-13 ke dalam Kerajaan Kutai Kartanegara akibat kalah perang. Sementara
Kerajaan Kutai Kartanegara berlangsung sejak abad ke-13 hingga saat ini.
4.
Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Kutai Martadipura mencakup wilayah
Kalimantan Timur saat ini, terutama daerah aliran Sungai Mahakam. Sementara
wilayah kekuasaan Kutai Ing Martadipura, mencakup wilayah yang sekarang menjadi
Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Barat, Kutai Timur, Bontang , Samarinda dan
Balikpapan.
5.
Struktur Pemerintahan
Belum didapat data arkeologis yang lengkap mengenai
sistem dan struktur pemerintahan di Kerajaan Kutai. Dari data arkeologis yang
menunjukkan pengaruh Hindu di Kerajaan ini, maka bisa disimpulkan bahwa
Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja. Namun, tidak bisa dilacak lebih
lanjut, bagaimana struktur pemerintahan yang lebih rendah.
6.
Kehidupan Sosial-Budaya
Sejarah Kerajaan Kutai Martadipura merupakan periode yang
masih gelap. Sedikit sekali bukti-bukti arkeologis yang ditemukan untuk
mngugnkap sejarah tersebut. Selama ini, bukti tersebut terlalu bersadnar pada
penemuan 7 prasasti Yupa, ditambah naskah Salasilah Kutai. Namun, dari data
yang masih sangat minim tersebut, bisa diungkap sedikit tentang kehidupan
sosial budaya di masa lalu.
a. Kehidupan
Sosial
Dalam kehidupan sosial terjalin hubungan yang harmonis
antara Raja Mulawarman dengan kaum Brahmana. Dalam prasasti Yupa dijelaskan
bagaimana Raja Mulawarman memberi
persembahan
emas yang sangat banyak, dan juga sedekah 20.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana
di dalam tanah yang suci bernama Waprakeswara. Waprakeswara adalah tempat suci
untuk memuja dewa Syiwa. Di pulau Jawa, tanah suci ini disebut Baprakewara.
Tidak diketahui secara pasti asal emas dan sapi tersebut diperoleh. Apabila
emas dan sapi tersebut didatangkan dari tempat lain, maka, bisa disimpulkan
bahwa kerajaan Kutai telah melakukan kegiatan dagang.
b. Kehidupan
Budaya
Dalam kehidupan budaya dapat dikatakan kerajaan Kutai sudah
cukup maju. Hal ini bisa dilihat dari prosesi penghinduan (pemberkatan memeluk
agama Hindu), atau disebut juga upacara Vratyastoma yang telah dilakukan di
kerajaan ini. Upacara Vratyastoma dilaksanakan pertama kalinya di era
pemerintahan Aswawarman. Pemimpin upacara Vratyastoma, menurut para ahli adalah
para pendeta (Brahmana) dari India. Tetapi pada masa Mulawarman, kemungkinan
sekali upacara penghinduan tersebut dipimpin oleh pendeta/kaum Brahmana
pribumi. Keberadaan kaum Brahmana dari penduduk pribumi menunjukkan mereka
telah memiliki kemampuan intelektual yang cukup tinggi, sebab untuk menjadi
Brahmana mensyaratkan penguasaan bahasa Sanskerta. Selain itu, dari berbagai
benda purbakala yang berhasil ditemukan di Kalimantan Timur, menunjukkan di
kawasan tersebut telah eksis suatu komunitas budaya dengan peradaban yang cukup
tinggi. Bahkan ada yang memperkirakan eksistensi komunitas budaya ini telah ada
sejak ribuan tahun yang lalu, di masa pra sejarah. Di antara temuan yang sangat
menarikadalah goa-goa di Kalimantan Timu, di kawasan Gunung Marang, sekitar 400
kilometer utara Balikpapan. Dalam goa tersebut, juga ditemukan pecahan-pecahan
perkakas tembikar dan sejumlah makam. Goa yang berfungsi sebagai tempat tinggal
ini juga dilengkapi dengan hiasan-hiasan atau lukisan purbakala pada
dindingnya. Temuan ini diduga berasal dari zaman prasejarah yang telah berusia
10.000 tahun. Ini menunjukkan kawasan ini telah cukup maju. Dalam penggalian
lain di situs sejarah Kerajaan Kutai, juga ditemukan berbagai artefak, seperti
reruntuhan candi berupa peripih, manik-manik, gerabah, patung perunggu dan
keramik yang sangat indah.
B.
Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan Tarumanegara Atau Taruma Adalah Sebuah
Kerajaan Yang Pernah Berkuasa Di Wilayah Pulau Jawa Bagian Barat Pada Abad Ke-4
Hingga Abad Ke-7 M, Yang Merupakan Salah Satu Kerajaan Tertua Di Nusantara Yang
Diketahui. Dalam Catatan, Kerajaan Kerajaan Tarumanegara Adalah Kerajaan Hindu
Beraliran Wisnu. Kerajaan Tarumanegara Didirikan Oleh Rajadirajaguru
Jayasingawarman Pada Tahun 358, Yang Kemudian Digantikan Oleh Putranya,
Dharmayawarman (382-395). Jayasingawarman Dipusarakan Di Tepi Kali Gomati,
Sedangkan Putranya Di Tepi Kali Candrabaga. Maharaja Purnawarman Adalah Raja
Kerajaan Tarumanegara Yang Ketiga (395-434 M). Ia Membangun Ibukota Kerajaan
Baru Pada Tahun 397 Yang Terletak Lebih Dekat Ke Pantai. Dinamainya Kota Itu
Sundapura Pertama Kalinya Nama " Sunda " Digunakan. Pada Tahun 417 Ia
Memerintahkan Penggalian Sungai Gomati Dan Candrabaga Sepanjang 6112 Tombak
(Sekitar 11 Km). Selesai Penggalian, Sang Prabu Mengadakan Selamatan Dengan
Menyedekahkan 1.000 Ekor Sapi Kepada Kaum Brahmana.
Prasasti Pasir Muara Yang Menyebutkan Peristiwa
Pengembalian Pemerintahan Kepada Raja Sunda Itu Dibuat Tahun 536 M. Dalam Tahun
Tersebut Yang Menjadi Penguasa Kerajaan Tarumanegara Adalah Suryawarman (535 -
561 M) Raja Kerajaan Tarumanegara Ke-7. Pustaka Jawadwipa, Parwa I, Sarga 1
(Halaman 80 Dan 81) Memberikan Keterangan Bahwa Dalam Masa Pemerintahan
Candrawarman (515-535 M), Ayah Suryawarman, Banyak Penguasa Daerah Yang
Menerima Kembali Kekuasaan Pemerintahan Atas Daerahnya Sebagai Hadiah Atas
Kesetiaannya Terhadap Kerajaan Tarumanegara. Ditinjau Dari Segi Ini, Maka
Suryawarman Melakukan Hal Yang Sama Sebagai Lanjutan Politik Ayahnya.
Rakeyan Juru Pengambat Yang Tersurat Dalam Prasasti Pasir
Muara Mungkin Sekali Seorang Pejabat Tinggi Kerajaan Tarumanegara Yang
Sebelumnya Menjadi Wakil Raja Sebagai Pimpinan Pemerintahan Di Daerah Tersebut.
Yang Belum Jelas Adalah Mengapa Prasasti Mengenai Pengembalian Pemerintahan
Kepada Raja Sunda Itu Terdapat Di Sana? Apakah Daerah Itu Merupakan Pusat
Kerajaan Sunda Atau Hanya Sebuah Tempat Penting Yang Termasuk Kawasan Kerajaan
Sunda? Baik Sumber-Sumber Prasasti Maupun Sumber-Sumber Cirebon Memberikan Keterangan
Bahwa Purnawarman Berhasil Menundukkan Musuh-Musuhnya. Prasasti Munjul Di
Pandeglang Menunjukkan Bahwa Wilayah Kekuasaannya Mencakup Pula Pantai Selat
Sunda. Pustaka Nusantara, Parwa II Sarga 3 (Halaman 159 - 162) Menyebutkan
Bahwa Di Bawah Kekuasaan Purnawarman Terdapat 48 Raja Daerah Yang Membentang
Dari Salakanagara Atau Rajatapura (Di Daerah Teluk Lada Pandeglang) Sampai Ke
Purwalingga (Sekarang Purbolinggo) Di Jawa Tengah. Secara Tradisional Cipamali
(Kali Brebes) Memang Dianggap Batas Kekuasaan Raja-Raja Penguasa Jawa Barat
Pada Masa Silam.
Kehadiran Prasasti Purnawarman Di Pasir Muara, Yang
Memberitakan Raja Sunda Dalam Tahun 536 M, Merupakan Gejala Bahwa Ibukota
Sundapura Telah Berubah Status Menjadi Sebuah Kerajaan Daerah. Hal Ini Berarti,
Pusat Pemerintahan Kerajaan Tarumanegara Telah Bergeser Ke Tempat Lain. Contoh
Serupa Dapat Dilihat Dari Kedudukaan Rajatapura Atau Salakanagara (Kota Perak),
Yang Disebut Argyre Oleh Ptolemeus Dalam Tahun 150 M. Kota Ini Sampai Tahun 362
Menjadi Pusat Pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (Dari Dewawarman I - VIII).
Ketika Pusat Pemerintahan Beralih Dari Rajatapura Ke Tarumanegara, Maka
Salakanagara Berubah Status Menjadi Kerajaan Daerah. Jayasingawarman Pendiri
Kerajaan Tarumanegara Adalah Menantu Raja Dewawarman VIII. Ia Sendiri Seorang
Maharesi Dari Salankayana Di India Yang Mengungsi Ke Nusantara Karena Daerahnya
Diserang Dan Ditaklukkan Maharaja Samudragupta Dari Kerajaan Magada.
Suryawarman Tidak Hanya Melanjutkan Kebijakan Politik
Ayahnya Yang Memberikan Kepercayaan Lebih Banyak Kepada Raja Daerah Untuk
Mengurus Pemerintahan Sendiri, Melainkan Juga Mengalihkan Perhatiannya Ke
Daerah Bagian Timur. Dalam Tahun 526 M, Misalnya, Manikmaya, Menantu
Suryawarman, Mendirikan Kerajaan Baru Di Kendan, Daerah Nagreg Antara Bandung
Dan Limbangan, Garut. Putera Tokoh Manikmaya Ini Tinggal Bersama Kakeknya Di
Ibukota Tarumangara Dan Kemudian Menjadi Panglima Angkatan Perang Kerajaan
Tarumanegara. Perkembangan Daerah Timur Menjadi Lebih Berkembang Ketika Cicit
Manikmaya Mendirikan Kerajaan Galuh Dalam Tahun 612 M.
Kerajaan Tarumanegara Sendiri Hanya Mengalami Masa
Pemerintahan 12 Orang Raja. Pada Tahun 669, Linggawarman, Raja Kerajaan
Tarumanegara Terakhir, Digantikan Menantunya, Tarusbawa. Linggawarman Sendiri
Mempunyai Dua Orang Puteri, Yang Sulung Bernama Manasih Menjadi Istri Tarusbawa
Dari Sunda Dan Yang Kedua Bernama Sobakancana Menjadi Isteri Dapuntahyang Sri
Jayanasa Pendiri Kerajaan Sriwijaya. Secara Otomatis, Tahta Kekuasaan Kerajaan
Tarumanegara Jatuh Kepada Menantunya Dari Putri Sulungnya, Yaitu Tarusbawa.
Kekuasaan Kerajaan Tarumanegara Berakhir Dengan Beralihnya Tahta Kepada
Tarusbawa, Karena Tarusbawa Pribadi Lebih Menginginkan Untuk Kembali Ke
Kerajaannya Sendiri, Yaitu Sunda Yang Sebelumnya Berada Dalam Kekuasaan
Kerajaan Tarumanegara. Atas Pengalihan Kekuasaan Ke Sunda Ini, Hanya Galuh Yang
Tidak Sepakat Dan Memutuskan Untuk Berpisah Dari Sunda Yang Mewarisi Wilayah
Kerajaan Tarumanegara.
Raja-Raja Kerajaan Tarumanegara
1. Jayasingawarman 358-382
2. Dharmayawarman 382-395
3. Purnawarman 395-434
4. Wisnuwarman 434-455
5. Indrawarman 455-515
6. Candrawarman 515-535
7. Suryawarman 535-561
8. Kertawarman 561-628
9. Sudhawarman 628-639
10. Hariwangsawarman 639-640
11. Nagajayawarman 640-666
12. Linggawarman 666-669
Prasasti
Peninggalan Kerajaan Tarumanegara
1. Prasasti Kebon Kopi, Dibuat Sekitar 400 M (H Kern 1917), Ditemukan Di Perkebunan Kopi Milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor
2. Prasasti Tugu, Ditemukan Di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Sekarang Disimpan Di Museum Di Jakarta. Prasasti Tersebut Isinya Menerangkan Penggalian Sungai Candrabaga Oleh Rajadirajaguru Dan Penggalian Sungai Gomati Oleh Purnawarman Pada Tahun Ke-22 Masa Pemerintahannya.
3. Prasasti Munjul Atau Prasasti Cidanghiang, Ditemukan Di Aliran Sungai Cidanghiang Yang Mengalir Di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, Berisi Pujian Kepada Raja Purnawarman.
4. Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
5. Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
6. Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor
7. Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor
Lahan Tempat Prasasti Itu Ditemukan Berbentuk Bukit Rendah Berpermukaan Datar Dan Diapit Tiga Batang Sungai: Cisadane, Cianten Dan Ciaruteun. Sampai Abad Ke-19, Tempat Itu Masih Dilaporkan Dengan Nama Pasir Muara. Dahulu Termasuk Bagian Tanah Swasta Ciampea. Sekarang Termasuk Wilayah Kecamatan Cibungbulang. Kampung Muara Tempat Prasasti Ciaruteun Dan Telapak Gajah Ditemukan, Dahulu Merupakan Sebuah " Kota Pelabuhan Sungai " Yang Bandarnya Terletak Di Tepi Pertemuan Cisadane Dengan Cianten. Sampai Abad Ke-19 Jalur Sungai Itu Masih Digunakan Untuk Angkutan Hasil Perkebunan Kopi. Sekarang Masih Digunakan Oleh Pedagang Bambu Untuk Mengangkut Barang Dagangannya Ke Daerah Hilir.
Prasasti Pada Zaman Ini Menggunakan Aksara Sunda Kuno,
Yang Pada Awalnya Merupakan Perkembangan Dari Aksara Tipe Pallawa Lanjut, Yang
Mengacu Pada Model Aksara Kamboja Dengan Beberapa Cirinya Yang Masih Melekat.
Pada Zaman Ini, Aksara Tersebut Belum Mencapai Taraf Modifikasi Bentuk Khasnya
Sebagaimana Yang Digunakan Naskah-Naskah (Lontar) Abad Ke-16. Prasasti Pasir
Muara Di Bogor, Prasasti Ditemukan Di Pasir Muara, Di Tepi Sawah, Tidak Jauh
Dari Prasasti Telapak Gajah Peninggalan Purnawarman. Prasasti Itu Kini Tak
Berada Ditempat Asalnya. Dalam Prasasti Itu Dituliskan :
Ini Sabdakalanda Rakryan Juru Panga-Mbat I Kawihaji
Panyca Pasagi Marsa-N Desa Barpulihkan****Su-Nda Terjemahannya Menurut Bosch:
Ini Tanda Ucapan Rakryan Juru Pengambat Dalam Tahun (Saka) Kawihaji (8) Panca (5) Pasagi (4), Pemerintahan Begara Dikembalikan Kepada Raja Sunda.
Karena Angka Tahunnya Bercorak " Sangkala " Yang Mengikuti Ketentuan " Angkanam Vamato Gatih " (Angka Dibaca Dari Kanan), Maka Prasasti Tersebut Dibuat Dalam Tahun 458 Saka Atau 536 Masehi.
Ini Tanda Ucapan Rakryan Juru Pengambat Dalam Tahun (Saka) Kawihaji (8) Panca (5) Pasagi (4), Pemerintahan Begara Dikembalikan Kepada Raja Sunda.
Karena Angka Tahunnya Bercorak " Sangkala " Yang Mengikuti Ketentuan " Angkanam Vamato Gatih " (Angka Dibaca Dari Kanan), Maka Prasasti Tersebut Dibuat Dalam Tahun 458 Saka Atau 536 Masehi.
Prasasti Ciaruteun, Prasasti Ciaruteun Ditemukan Pada
Aliran Sungai Ciaruteun, Seratus Meter Dari Pertemuan Sungai Tersebut Dengan
Sungai Cisadane; Namun Pada Tahun 1981 Diangkat Dan Diletakkan Di Dalam
Cungkup. Prasasti Ini Peninggalan Purnawarman, Beraksara Palawa, Berbahasa
Sansekerta. Isinya Adalah Puisi Empat Baris, Yang Berbunyi:
Vikkrantasyavanipateh Shrimatah Purnavarmmanah Kerajaan Tarumanegararendrasya Vishnoriva Padadvayam Terjemahannya Menurut Vogel:
Kedua (Jejak) Telapak Kaki Yang Seperti (Telapak Kaki) Wisnu Ini Kepunyaan Raja Dunia Yang Gagah Berani Yang Termashur Purnawarman Penguasa Kerajaan Tarumanegara.
Selain Itu, Ada Pula Gambar Sepasang " Pandatala " (Jejak Kaki), Yang Menunjukkan Tanda Kekuasaan Fungsinya Seperti " Tanda Tangan " Pada Zaman Sekarang. Kehadiran Prasasti Purnawarman Di Kampung Itu Menunjukkan Bahwa Daerah Itu Termasuk Kawasan Kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara Parwa II, Sarga 3, Halaman 161, Di Antara Bawahan Kerajaan Tarumanegara Pada Masa Pemerintahan Purnawarman Terdapat Nama " Rajamandala " (Raja Daerah) Pasir Muhara.
Vikkrantasyavanipateh Shrimatah Purnavarmmanah Kerajaan Tarumanegararendrasya Vishnoriva Padadvayam Terjemahannya Menurut Vogel:
Kedua (Jejak) Telapak Kaki Yang Seperti (Telapak Kaki) Wisnu Ini Kepunyaan Raja Dunia Yang Gagah Berani Yang Termashur Purnawarman Penguasa Kerajaan Tarumanegara.
Selain Itu, Ada Pula Gambar Sepasang " Pandatala " (Jejak Kaki), Yang Menunjukkan Tanda Kekuasaan Fungsinya Seperti " Tanda Tangan " Pada Zaman Sekarang. Kehadiran Prasasti Purnawarman Di Kampung Itu Menunjukkan Bahwa Daerah Itu Termasuk Kawasan Kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara Parwa II, Sarga 3, Halaman 161, Di Antara Bawahan Kerajaan Tarumanegara Pada Masa Pemerintahan Purnawarman Terdapat Nama " Rajamandala " (Raja Daerah) Pasir Muhara.
Prasasti Telapak Gajah, Prasasti Telapak Gajah Bergambar
Sepasang Telapak Kaki Gajah Yang Diberi Keterangan Satu Baris Berbentuk Puisi
Berbunyi:
Jayavi S Halasya Tarumendrsaya Hastinah Airavatabhasya Vibhatidam Padadavayam
Terjemahannya: Kedua Jejak Telapak Kaki Adalah Jejak Kaki Gajah Yang Cemerlang Seperti Airawata Kepunyaan Penguasa Kerajaan Tarumanegara Yang Jaya Dan Berkuasa.
Menurut Mitologi Hindu, Airawata Adalah Nama Gajah Tunggangan Batara Indra Dewa Perang Dan Penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan I Bhumi Jawadwipa Parwa I, Sarga 1, Gajah Perang Purnawarman Diberi Nama Airawata Seperti Nama Gajah Tunggangan Indra. Bahkan Diberitakan Juga, Bendera Kerajaan Kerajaan Tarumanegara Berlukiskan Rangkaian Bunga Teratai Di Atas Kepala Gajah. Demikian Pula Mahkota Yang Dikenakan Purnawarman Berukiran Sepasang Lebah.
Jayavi S Halasya Tarumendrsaya Hastinah Airavatabhasya Vibhatidam Padadavayam
Terjemahannya: Kedua Jejak Telapak Kaki Adalah Jejak Kaki Gajah Yang Cemerlang Seperti Airawata Kepunyaan Penguasa Kerajaan Tarumanegara Yang Jaya Dan Berkuasa.
Menurut Mitologi Hindu, Airawata Adalah Nama Gajah Tunggangan Batara Indra Dewa Perang Dan Penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan I Bhumi Jawadwipa Parwa I, Sarga 1, Gajah Perang Purnawarman Diberi Nama Airawata Seperti Nama Gajah Tunggangan Indra. Bahkan Diberitakan Juga, Bendera Kerajaan Kerajaan Tarumanegara Berlukiskan Rangkaian Bunga Teratai Di Atas Kepala Gajah. Demikian Pula Mahkota Yang Dikenakan Purnawarman Berukiran Sepasang Lebah.
Ukiran Bendera Dan Sepasang Lebah Itu Dengan Jelas
Ditatahkan Pada Prasasti Ciaruteun Yang Telah Memancing Perdebatan Mengasyikkan
Di Antara Para Ahli Sejarah Mengenai Makna Dan Nilai Perlambangannya. Ukiran
Kepala Gajah Bermahkota Teratai Ini Oleh Para Ahli Diduga Sebagai " Huruf
Ikal " Yang Masih Belum Terpecahkan Bacaaanya Sampai Sekarang. Demikian
Pula Tentang Ukiran Sepasang Tanda Di Depan Telapak Kaki Ada Yang Menduganya
Sebagai Lambang Laba-Laba, Matahari Kembar Atau Kombinasi Surya-Candra
(Matahari Dan Bulan). Keterangan Pustaka Dari Cirebon Tentang Bendera Kerajaan
Tarumanegara Dan Ukiran Sepasang " Bhramara " (Lebah) Sebagai Cap
Pada Mahkota Purnawarman Dalam Segala " Kemudaan " Nilainya Sebagai
Sumber Sejarah Harus Diakui Kecocokannya Dengan Lukisan Yang Terdapat Pada
Prasasti Ciaruteum.
Di Daerah Bogor, Masih Ada Satu Lagi Prasasti Lainnya
Yaitu Prasasti Batu Peninggalan Kerajaan Tarumanegara Yang Terletak Di Puncak
Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada Bukit Ini
Mengalir (Sungai) Cikasungka. Prasasti Inipun Berukiran Sepasang Telapak Kaki
Dan Diberi Keterangan Berbentuk Puisi Dua Baris:
Shriman Data Kertajnyo Narapatir - Asamo Yah Pura Tarumayam Nama Shri Purnnavarmma Pracurarupucara Fedyavikyatavammo Tasyedam - Padavimbadavyam Arnagarotsadane Nitya-Dksham Bhaktanam Yangdripanam - Bhavati Sukhahakaram Shalyabhutam Ripunam.
Terjemahannya Menurut Vogel: Yang Termashur Serta Setia Kepada Tugasnya Ialah Raja Yang Tiada Taranya Bernama Sri Purnawarman Yang Memerintah Taruma Serta Baju Perisainya Tidak Dapat Ditembus Oleh Panah Musuh-Musuhnya; Kepunyaannyalah Kedua Jejak Telapak Kaki Ini, Yang Selalu Berhasil Menghancurkan Benteng Musuh, Yang Selalu Menghadiahkan Jamuan Kehormatan (Kepada Mereka Yang Setia Kepadanya), Tetapi Merupakan Duri Bagi Musuh-Musuhnya
Shriman Data Kertajnyo Narapatir - Asamo Yah Pura Tarumayam Nama Shri Purnnavarmma Pracurarupucara Fedyavikyatavammo Tasyedam - Padavimbadavyam Arnagarotsadane Nitya-Dksham Bhaktanam Yangdripanam - Bhavati Sukhahakaram Shalyabhutam Ripunam.
Terjemahannya Menurut Vogel: Yang Termashur Serta Setia Kepada Tugasnya Ialah Raja Yang Tiada Taranya Bernama Sri Purnawarman Yang Memerintah Taruma Serta Baju Perisainya Tidak Dapat Ditembus Oleh Panah Musuh-Musuhnya; Kepunyaannyalah Kedua Jejak Telapak Kaki Ini, Yang Selalu Berhasil Menghancurkan Benteng Musuh, Yang Selalu Menghadiahkan Jamuan Kehormatan (Kepada Mereka Yang Setia Kepadanya), Tetapi Merupakan Duri Bagi Musuh-Musuhnya
C.
Kerajaan Sriwijaya
1. Sejarah
Pengetahuan mengenai sejarah Sriwijaya baru lahir pada
permulaan abad ke-20 M, ketika George Coedes menulis karangannya berjudul Le
Royaume de Crivijaya pada tahun 1918 M.Sebenarnya, lima tahun sebelum itu,
yaitu pada tahun 1913 M, Kern telah menerbitkan Prasasti Kota Kapur, sebuah
prasasti peninggalan Sriwijaya yang ditemukan di Pulau Bangka. Namun, saat itu,
Kerna masih menganggap nama Sriwijaya yang tercantum pada prasasti tersebut
sebagai nama seorang raja, karena Cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau
gelar raja.
Pada tahun 1896 M, sarjana Jepang Takakusu menerjemahkan
karya I-tsing, Nan-hai-chikuei-nai fa-ch‘uan ke dalam bahasa Inggris dengan
judul A Record of the Budhist Religion as
Practised
in India and the Malay Archipelago. Namun, dalam buku tersebut tidak
terdapat nama Sriwijaya, yang ada hanya Shih-li-fo-shih. Dari terjemahan
prasasti Kota Kapur yang memuat nama Sriwijaya dan karya I-Tsing yang memuat
nama Shih-li-fo-shih, Coedes kemudian menetapkan bahwa, Sriwijaya adalah nama
sebuah kerajaan di Sumatera Selatan. Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan
bahwa, letak ibukota Sriwijaya adalah Palembang, dengan bersandar pada anggapan
Groeneveldt dalam karangannya, Notes on the Malay Archipelago and Malacca,
Compiled from Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fots‘ I adalah
Palembang. Sumber lain, yaitu Beal mengemukakan pendapatnya pada tahun 1886
bahwa, Shih-li-fo-shih merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai
Musi, dekat kota Palembang sekarang. Dari pendapat ini, kemudian muncul suatu
kecenderungan di kalangan sejarawan untuk menganggap Palembang sebagai pusat
Kerajaan Sriwijaya. Sumber lain yang mendukung keberadaan Palembang sebagai
pusat kerajaan adalah prasasti Telaga Batu. Prasasti ini berbentuk batu lempeng
mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, dengan sebentuk
mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat keluarair) di bawahnya. Menurut
para arkeolog, prasasti ini digunakan untuk pelaksanaan upacara sumpah
kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat. Dalam prosesi itu, pejabat
yangdisumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar melalui cerat
tersebut. Sebagaisarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti itu
biasanya ditempatkan di pusat kerajaan. Karena ditemukan di sekitar Palembang
pada tahun 1918 M, maka diduga kuat Palembang merupakan pusat Kerajaan
Sriwijaya. Petunjuk lain yang menyatakan bahwa Palembang merupakan pusat
kerajaan juga diperoleh dari hasil temuan barang-barang keramik dan tembikar di
situs Talang Kikim, Tanjung Rawa, Bukit Siguntang dan Kambang Unglen, semuanya
di daerah Palembang. Keramik dan tembikar tersebut merupakan alat yang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Temuan ini menunjukkan bahwa, pada masa
dulu, di Palembang terdapat pemukiman kuno. Dugaan ini semakin kuat dengan
hasil interpretasi foto udara di daerah sebelah barat Kota Palembang,yang
menggambarkan bentuk-bentuk kolam dan kanal. Kolam dan kanal-kanal yang
bentuknya teratur itu kemungkinan besar buatan manusia, bukan hasil dari proses
alami. Dari hasil temuan keramik dan kanal-kanal ini, maka dugaan para arkeolog
bahwa Palembang merupakan pusat kerajaan semakin kuat.
Sebagai pusat kerajaan, kondisi Palembang ketika itu
bersifat mendesa (rural), tidak seperti pusat-pusat kerajaan lain yang
ditemukan di wilayah Asia Tenggara daratan, seperti di Thailand, Kamboja, dan
Myanmar. Bahan utama yang dipakai untuk membuat bangunan di pusat kota
Sriwijaya adalah kayu atau bambu yang mudah didapatkan di sekitarnya. Oleh
karena bahan itu mudah rusak termakan zaman, maka tidak ada sisa bangunan yang
dapat ditemukan lagi. Kalaupun ada, sisa pemukiman dengan konstruksi kayu
tersebut hanya dapat ditemukan di daerah rawa atau tepian sungai yang terendam
air, bukan di pusat kota, seperti di situs Ujung Plancu, Kabupaten Batanghari,
Jambi. Memang ada bangunan yang dibuat dari bahan bata atau batu, tapi hanya
bangunan sakral (keagamaan), seperti yang ditemukan di Palembang, di situs
Gedingsuro, Candi Angsoka, dan Bukit Siguntang, yang terbuat dari bata. Sayang
sekali, sisa bangunan yang ditemukan tersebut hanya bagian pondasinya saja.
Seiring perkembangan, semakin banyak ditemukan data sejarah berkenaan dengan
Sriwijaya. Selain prasasti Kota Kapur, juga ditemukan prasasti Karang Berahi
(ditemukan tahun 1904 M), Telaga Batu (ditemukan tahun 1918 M), Kedukan Bukit
(ditemukan tahun 1920 M) Talang Tuo (ditemukan tahun 1920 M) dan Boom Baru. Di
antara prasasti di atas, prasasti Kota Kapur merupakan yang paling tua,
bertarikh 682 M, menceritakan tentang kisah perjalanan suci Dapunta Hyang dari
Minana dengan perahu, bersama dua laksa (20.000) tentara dan 200 peti
perbekalan, serta 1.213 tentara yang berjalan kaki. Perjalanan ini berakhir di
mukha-p. Ditempat tersebut, Dapunta Hyang kemudian mendirikan wanua
(perkampungan) yang diberi nama Sriwijaya. Dalam prasasti Talang Tuo yang
bertarikh 684 M, disebutkan mengenai pembangunan taman oleh Dapunta Hyang Sri
Jayanasa untuk semua makhluk, yang diberi nama Sriksetra. Dalam taman tersebut,
terdapat pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan. Data tersebut semakin lengkap
dengan adanya berita Cina dan Arab. Sumber Cina yang paling sering dikutip
adalah catatan I-tsing. Ia merupakan seorang peziarah Budha dari China yang
telah mengunjungi Sriwijaya beberapa kali dan sempat bermukim beberapa lama.
Kunjungan I-sting pertama adalah tahun 671 M. Dalam catatannya disebutkan
bahwa, saat itu terdapat lebih dari seribu orang pendeta Budha di Sriwijaya.
Aturan dan upacara para pendeta Budha tersebut sama dengan aturan dan upacara
yang dilakukan oleh para pendeta Budha di India. I-tsing tinggal selama 6 bulan
di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu, baru ia berangkat ke
Nalanda, India. Setelah lama belajar di Nalanda, I-tsing kembali ke Sriwijaya
pada tahun 685 dan tinggal selama beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks
Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. Catatan Cina yang lain menyebutkan
tentang utusan Sriwijaya yang datang secara rutin ke Cina, yang terakhir adalah
tahun 988 M.Dalam sumber lain, yaitu catatan Arab, Sriwijaya disebut Sribuza.
Mas‘udi, seorang sejarawanArab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada
tahun 955 M. Dalam catatan itu,digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan
besar, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur
barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala,kardamunggu, gambir dan
beberapa hasil bumi lainya. Dari catatan asing tersebut, bisa diketahui bahwa
Sriwijaya merupakan kerajaan besar pada masanya, dengan wilayah dan relasi
dagang yang luas sampai ke Madagaskar. Sejumlah bukti lain berupa arca,
stupika, maupun prasasti lainnya semakin menegaskan bahwa, pada masanya
Sriwijaya adalah kerajaan yang mempunyai komunikasi yang baik dengan para
saudagar dan pendeta di Cina, India dan Arab. Hal ini hanya mungkin bisa
dilakukan oleh sebuah kerajaan yang besar, berpengaruh, dan diperhitungkan di
kawasannya.
Pada abad ke-11 M, Sriwijaya mulai mengalami kemunduran.
Pada tahun 1006 M, Sriwijayadiserang oleh Dharmawangsa dari Jawa Timur.
Serangan ini berhasil dipukul mundur, bahkan Sriwijaya mampu melakukan serangan
balasan dan berhasil menghancurkan kerajaan Dharmawangsa. Pada tahun 1025 M,
Sriwijaya mendapat serangan yang melumpuhkan dari kerajaan Cola, India.
Walaupun demikian, serangan tersebut belum mampu melenyapkan Sriwijaya dari
muka bumi. Hingga awal abad ke-13 M, Sriwijaya masih tetap berdiri, walaupun
kekuatan dan pengaruhnya sudah sangat jauh berkurang.
2.
Silsilah
Salah satu cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah
dengan melakukan perkawinan dengan kerajaan lain. Hal ini juga dilakukan oleh
penguasa Sriwijaya. Dapunta Hyang yang berkuasa sejak 664 M, melakukan
pernikahan dengan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara,
Linggawarman. Perkawinan ini melahirkan seorang putra yang menjadi raja
Sriwijaya berikutnya: Dharma Setu. Dharma Setu kemudian memiliki putri yang
bernama
Dewi
Tara. Putri ini kemudian ia nikahkan dengan Samaratungga, raja Kerajaan Mataram
Kuno dari Dinasti Syailendra. Dari pernikahan Dewi Setu dengan Samaratungga,
kemudian lahir BalaPutra Dewa yang menjadi raja di Sriwijaya dari 833 hingga
856 M. Berikut ini daftar silsilah para raja Sriwijaya:
Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683,
Talang Tuo, 684).
1.
Cri Indrawarman (berita Cina, tahun 724).
2.
Rudrawikrama (berita Cina, tahun 728, 742).
3.
Wishnu (prasasti Ligor, 775).
4.
Maharaja (berita Arab, tahun 851).
5.
Balaputradewa (prasasti Nalanda, 860).
6.
Cri Udayadityawarman (berita Cina, tahun 960).
7.
Cri Udayaditya (berita Cina, tahun 962).
8.
Cri Cudamaniwarmadewa (berita Cina, tahun 1003, prasasti Leiden, 1044).
9.
Maraviyayatunggawarman (prasasti Leiden, 1044).
10.
Cri Sanggaramawijayatunggawarman (prasasti Chola, 1044).
3.
Periode Pemerintahan
Kerajaan Sriwijaya berkuasa dari abad ke-7 hingga awal
abad ke-13 M, dan mencapai zaman keemasan di era pemerintahan Balaputra Dewa
(833-856 M). Kemunduran kerajaan ini berkaitan dengan masuk dan berkembangnya
agama Islam di Sumatera, dan munculnya kekuatan Singosari dan Majapahit di
Pulau Jawa.
4.
Wilayah Kekuasaan
Dalam sejarahnya, kerajaan Sriwijaya menguasai bagian
barat Nusantara. Salah satu faktor yang menyebabkan Sriwijaya bisa menguasai
seluruh bagian barat Nusantara adalah runtuhnya kerajaan Fu-nan di Indocina.
Sebelumnya, Fu-nan adalah satu-satunya pemegang kendali di wilayah perairan Selat
Malaka. Faktor lainnya adalah kekuatan armada laut Sriwijaya yang mampu
menguasai jalur lalu lintas perdagangan antara India dan Cina. Dengan kekuatan
armada yang besar, Sriwijaya kemudian melakukan ekspansi wilayah hingga ke
pulau Jawa. Dalam sumber lain dikatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sampai ke
Brunei di pulau Borneo.
Dari prasasti Kota Kapur yang ditemukan JK Van der Meulen
di Pulau Bangka pada bulan Desember 1892 M, diperoleh petunjuk mengenai
Kerajaan Sriwijaya yang sedang berusaha menaklukkan Bumi Jawa. Meskipun tidak
dijelaskan wilayah mana yang dimaksud dengan Bhumi Jawa dalam prasasti itu,
beberapa arkeolog meyakini, yang dimaksud Bhumi Jawa itu adalah Kerajaan
Tarumanegara di Pantai Utara Jawa Barat. Selain dari isi prasasti, wilayah
kekuasaan Sriwijaya juga bisa diketahui dari persebaran lokasi
prasasti-prasasti peninggalan Sriwjaya tersebut. Di daerah Lampung ditemukan
prasasti Palas Pasemah, di Jambi ada Karang Berahi, di Bangka ada Kota kapur,
di Riau ada Muara Takus. Semua ini menunjukkan bahwa, daerah-daerah tersebut
pernah dikuasai Sriwijaya. Sumber lain ada yang mengatakan bahwa, kekuasaan
Sriwijaya sebenarnya mencapai Philipina. Ini merupakan bukti bahwa, Sriwijaya
pernah menguasai sebagian besar wilayah Nusantara.
5.
Struktur Pemerintahan
Kekuasaan tertinggi di Kerajaan Sriwijaya dipegang oleh
raja. Untuk menjadi raja, ada tiga persyaratan yaitu:
1.
Samraj, artinya berdaulat atas rakyatnya.
2.
Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan
kesejahteraan pada rakyatnya.
3.
Ekachattra. Eka berarti satu dan chattra berarti payung. Kata ini bermakna
mampu memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya.
Penyamaan raja dengan Dewa Indra menunjukkan raja di
Sriwijaya memiliki kekuasaan yang bersifat transenden. Belum diketahui secara
jelas bagaimana struktur pemerintahan di bawah raja. Salah satu pembantunya
yang disebut secara jelas hanya senapati yang bertugas sebagai panglima perang.
6.
Kehidupan Ekonomi, Sosial, Budaya
Sebagai kerajaan besar yang menganut agama Budha, di
Sriwijaya telah berkembang iklim yang kondusif untuk mengembangkan agama Budha
tersebut. Dalam catatan perjalanan Itsing disebutkan bahwa, pada saat itu, di
Sriwijaya terdapat seribu pendeta. Dalam perjalanan pertamanya, I-tsing sempat
bermukim selama enam bulan di Sriwijaya untuk mendalami bahasa Sansekerta.
I-tsing juga menganjurkan, jika seorang pendeta Cina ingin belajar ke India,
sebaiknya belajar dulu setahun atau dua tahun di Fo-shih (Palembang), baru
kemudian belajar di India. Sepulangnya dari Nalanda, I-tsing menetap di
Sriwijaya selama tujuh tahun (688-695 M) dan menghasilkan dua karya besar yaitu
Ta T‘ang si-yu-ku-fa-kao-seng-chuan dan Nan-hai-chi-kuei-nei-fa-chuan (A Record
of the Budhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago) yang
selesai ditulis pada tahun 692 M. Ini menunjukkan bahwa, Sriwijaya merupakan
salah satu pusat agama Budha yang penting pada saat itu. Sampai awal abad ke-11
M, Kerajaan Sriwijaya masih merupakan pusat studi agama Buddha Mahayana. Dalam
relasinya dengan India, raja-raja Sriwijaya membangun bangunan suci agama Budha
di India. Fakta ini tercantum dalam dua buah prasasti, yaitu prasasti Raja
Dewapaladewa dari Nalanda, yang diperkirakan berasal dari abad ke-9 M; dan
prasasti Raja Rajaraja I yang berangka tahun 1044 M dan 1046 M.
Prasasti pertama menyebutkan tentang Raja Balaputradewa
dari Suwarnadwipa (Sriwijaya)yang membangun sebuah biara; sementara prasasti
kedua menyebutkan tentang Raja Kataha dan Sriwijaya, Marawijayayottunggawarman
yang memberi hadiah sebuah desa untuk dipersembahkan kepada sang Buddha yang
berada dalam biara Cudamaniwarna, Nagipattana, India.
Di bidang perdagangan, Kerajaan Sriwijaya mempunyai
hubungan perdagangan yang sangat baik dengan saudagar dari Cina, India, Arab
dan Madagaskar. Hal itu bisa dipastikan dari temuan mata uang Cina, mulai dari
periode Dinasti Song (960-1279 M) sampai Dinasti Ming (abad 14-17 M). Berkaitan
dengan komoditas yang diperdagangkan, berita Arab dari Ibn al- Fakih (902 M),
Abu Zayd (916 M) dan Mas‘udi (955 M) menyebutkan beberapa di antaranya, yaitu
cengkeh, pala, kapulaga, lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus,
gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah, dan penyu.
Barang-barang ini dibeli oleh pedagang asing, atau dibarter dengan porselen,
kain katun dan kain sutra.
D.
Kerajaan Mataram Kuno
Runtuhnya kerajaan Mataram disebabkan oleh beberapa
faktor. Pertama,
disebabkan oleh letusan gunung Merapi yang mengeluarkan lahar. Kemudian
lahar tersebut menimbun candi-candi yang didirikan oleh kerajaan, sehingga
candi-candi tersebut menjadi rusak. Kedua, runtuhnya kerajaan Mataram
disebabkan oleh krisis politik yang terjadi tahun 927-929 M. Ketiga, runtuhnya
kerajaan dan perpindahan letak kerajaan dikarenakan pertimbangan ekonomi.
Di Jawa Tengah daerahnya kurang subur, jarang terdapat sungai besar dan
tidak terdapatnya pelabuhan strategis. Sementara di Jawa Timur, apalagi di
pantai selatan Bali merupakan jalur yang strategis untuk perdagangan, dan
dekat dengan daerah sumber penghasil komoditi perdagangan.
Mpu Sindok mempunyai jabatan sebagai Rake I Hino ketika Wawa
menjadi raja di Mataram, lalu pindah ke Jawa timur dan mendirikan dinasti
Isyana di sana dan menjadikan Walunggaluh sebagai pusat kerajaan . Mpu
Sindok yang membentuk dinasti baru, yaitu Isanawangsa berhasil membentuk
Kerajaan Mataram sebagai kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yang berpusat
di Jawa Tengah. Mpu Sindok memerintah sejak tahun 929 M sampai dengan
948 M.
disebabkan oleh letusan gunung Merapi yang mengeluarkan lahar. Kemudian
lahar tersebut menimbun candi-candi yang didirikan oleh kerajaan, sehingga
candi-candi tersebut menjadi rusak. Kedua, runtuhnya kerajaan Mataram
disebabkan oleh krisis politik yang terjadi tahun 927-929 M. Ketiga, runtuhnya
kerajaan dan perpindahan letak kerajaan dikarenakan pertimbangan ekonomi.
Di Jawa Tengah daerahnya kurang subur, jarang terdapat sungai besar dan
tidak terdapatnya pelabuhan strategis. Sementara di Jawa Timur, apalagi di
pantai selatan Bali merupakan jalur yang strategis untuk perdagangan, dan
dekat dengan daerah sumber penghasil komoditi perdagangan.
Mpu Sindok mempunyai jabatan sebagai Rake I Hino ketika Wawa
menjadi raja di Mataram, lalu pindah ke Jawa timur dan mendirikan dinasti
Isyana di sana dan menjadikan Walunggaluh sebagai pusat kerajaan . Mpu
Sindok yang membentuk dinasti baru, yaitu Isanawangsa berhasil membentuk
Kerajaan Mataram sebagai kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yang berpusat
di Jawa Tengah. Mpu Sindok memerintah sejak tahun 929 M sampai dengan
948 M.
Sumber sejarah yang berkenaan dengan Kerajaan Mataram
di Jawa Timur
antara lain prasasti Pucangan, prasasti Anjukladang dan Pradah, prasasti
Limus, prasasti Sirahketing, prasasti Wurara, prasasti Semangaka, prasasti
Silet, prasasti Turun Hyang, dan prasasti Gandhakuti yang berisi penyerahan
kedudukan putra mahkota oleh Airlangga kepada sepupunya yaitu
Samarawijaya putra Teguh Dharmawangsa.
antara lain prasasti Pucangan, prasasti Anjukladang dan Pradah, prasasti
Limus, prasasti Sirahketing, prasasti Wurara, prasasti Semangaka, prasasti
Silet, prasasti Turun Hyang, dan prasasti Gandhakuti yang berisi penyerahan
kedudukan putra mahkota oleh Airlangga kepada sepupunya yaitu
Samarawijaya putra Teguh Dharmawangsa.
Kehidupan
ekonomi, Mpu
Sindok memerintah dengan bijaksana. Hal ini bisa dilihat dari usahausaha yang
ia lakukan, seperti Mpu Sindok banyak membangun bendungan
dan memberikan hadiah-hadiah tanah untuk pemeliharaan bangunan suci untuk
meningkatkan kehidupan rakyatnya. Begitu pula pada masa pemerintahan
Airlangga, ia berusaha memperbaiki Pelabuhan Hujung Galuh di muara Sungai
Berantas dengan memberi tanggul-tanggul untuk mencegah banjir. Sementara
itu dibidang sastra, pada masa pemerintahannya telah tercipta satu hasil karya
sastra yang terkenal, yaitu karya Mpu Kanwa yang berhasil menyusun kitab
Arjuna Wiwaha. Pada masa Kerajaan Kediri banyak informasi dari sumber
kronik Cina yang menyatakan tentang Kediri yang menyebutkan Kediri banyak
menghasilkan beras, perdagangan yang ramai di Kediri dengan barang yang
diperdagangkan seperti emas, perak, gading, kayu cendana, dan pinang. Dari
keterangan tersebut, kita dapat menilai bahwa masyarakat pada umumnya
hidup dari pertanian dan perdagangan.
dan memberikan hadiah-hadiah tanah untuk pemeliharaan bangunan suci untuk
meningkatkan kehidupan rakyatnya. Begitu pula pada masa pemerintahan
Airlangga, ia berusaha memperbaiki Pelabuhan Hujung Galuh di muara Sungai
Berantas dengan memberi tanggul-tanggul untuk mencegah banjir. Sementara
itu dibidang sastra, pada masa pemerintahannya telah tercipta satu hasil karya
sastra yang terkenal, yaitu karya Mpu Kanwa yang berhasil menyusun kitab
Arjuna Wiwaha. Pada masa Kerajaan Kediri banyak informasi dari sumber
kronik Cina yang menyatakan tentang Kediri yang menyebutkan Kediri banyak
menghasilkan beras, perdagangan yang ramai di Kediri dengan barang yang
diperdagangkan seperti emas, perak, gading, kayu cendana, dan pinang. Dari
keterangan tersebut, kita dapat menilai bahwa masyarakat pada umumnya
hidup dari pertanian dan perdagangan.
Kehidupan
sosial-budaya,
Dalam bidang toleransi dan sastra, Mpu Sindok mengiinkan penyusunan kitab
Sanghyang Kamahayamikan (Kitab Suci Agama Buddha), padahal Mpu
Sindok sendiri beragama Hindu. Pada masa pemerintahan Airlangga tercipta
karya sastra Arjunawiwaha yang dikarang oleh Mpu Kanwa. Begitu pula
seni wayang berkembang dengan baik, ceritanya diambil dari karya sastra
Ramayana dan Mahabharata yang ditulis ulang dan dipadukan dengan budaya
Jawa. Raja Airlangga merupakan raja yang peduli pada keadaan masyarakatnya.
Hal itu terbukti dengan dibuatnya tanggul-tanggul dan waduk di beberapa
bagian di Sungai Berantas untuk mengatasi masalah banjir. Pada masa Airlangga
banyak dihasilkan karya-karya sastra, hal tersebut salah satunya disebabkan
oleh kebijakan raja yang melindungi para seniman, sastrawan dan para pujangga,
sehingga mereka dengan bebas dapat mengembangkan kreativitas yang mereka
miliki.
Sindok sendiri beragama Hindu. Pada masa pemerintahan Airlangga tercipta
karya sastra Arjunawiwaha yang dikarang oleh Mpu Kanwa. Begitu pula
seni wayang berkembang dengan baik, ceritanya diambil dari karya sastra
Ramayana dan Mahabharata yang ditulis ulang dan dipadukan dengan budaya
Jawa. Raja Airlangga merupakan raja yang peduli pada keadaan masyarakatnya.
Hal itu terbukti dengan dibuatnya tanggul-tanggul dan waduk di beberapa
bagian di Sungai Berantas untuk mengatasi masalah banjir. Pada masa Airlangga
banyak dihasilkan karya-karya sastra, hal tersebut salah satunya disebabkan
oleh kebijakan raja yang melindungi para seniman, sastrawan dan para pujangga,
sehingga mereka dengan bebas dapat mengembangkan kreativitas yang mereka
miliki.
Pada kronik-kronik Cina tercatat beberapa hal penting tentang Kediri yaitu:
1) Rakyat
Kediri pada umumnya telah memiliki tempat tinggal yang baik,
layak huni dan tertata dengan rapi, serta rakyat telah mampu untuk
berpakaian dengan baik.
layak huni dan tertata dengan rapi, serta rakyat telah mampu untuk
berpakaian dengan baik.
2) Hukuman di Kediri terdapat dua macam yaitu denda dan hukuman mati
bagi perampok.
3) Kalau sakit rakyat tidak mencari obat, tetapi cukup dengan memuja
para dewa.
E.
Dinasti Isyana di Jawa Timur
1. Asal-Usul
Istilah Isyana berasal dari nama Sri Isyana
Wikramadharmottunggadewa, yaitu gelarMpu Sindok setelah
menjadi raja Medang (929–947).
Dinasti ini menganut agama Hindualiran Siwa.
Berdasarkan
agama yang dianut, Mpu Sindok diduga merupakan keturunan Sanjaya,
pendiriKerajaan Medang periode
Jawa Tengah. Salah satu pendapat menyebutkan bahwa Mpu Sindok adalah cucu Mpu Daksa yang memerintah sekitar tahun 910–an.
Mpu Daksa sendiri memperkenalkan pemakaian Sanjayawarsa (kalender Sanjaya)
untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah keturunan asli Sanjaya. Dengan demikian,
Mpu Daksa dan Mpu Sindok dapat disebut sebagai anggota Wangsa Sanjaya.
Kerajaan Medang di Jawa Tengah hancur akibat
letusan Gunung Merapi menurut teori van Bammelen.
Mpu Sindok kemudian memindahkan ibu kota Medang dari Mataram menuju Tamwlang.
Beberapa tahun kemudian ibu kota dipindahkan lagi ke Watugaluh. Kedua istana
baru itu terletak di daerah Jombang sekarang.
Mpu Sindok tidak hanya memindahkan istana Medang ke
timur, namun ia juga dianggap telah mendirikan dinasti baru bernama Wangsa
Isyana.
Namun ada juga pendapat yang menolak keberadaan Wangsa
Sanjaya dan Wangsa Isyana, antara lain yang diajukan oleh Prof. Poerbatjaraka,
Pusponegoro, dan Notosutanto. Menurut versi ini, dalam Kerajaan Medang hanya
ada satu dinasti saja, yaitu Wangsa Syailendra,
yang semula beragama Hindu. Kemudian muncul Wangsa
Syailendra terpecah dengan munculnya anggota yang beragama Buddha.
Dengan kata lain, versi ini berpendapat bahwa Mpu Sindok
adalah anggota Wangsa Syailendra yang beragama Hindu Siwa, dan yang memindahkan
istana Kerajaan Medang ke Jawa Timur.
2. Silsilah Keluarga
Silsilah Wangsa Isyana dijumpai dalam prasasti Pucangan
tahun 1041 atas namaAirlangga,
seorang raja yang mengaku keturunan Mpu Sindok. Prasasti inilah yang melahirkan pendapat
tentang munculnya sebuah dinasti baru sebagai kelanjutan Wangsa Sanjaya.
Cikal
bakal Wangsa Isyana tentu saja ditempati oleh Mpu Sindok alias Maharaja Isyana.
Ia memiliki putri bernama Sri Isyanatunggawijaya yang
menikah dengan pangeran Bali bernamaSri Lokapala. Dari perkawinan itu lahir Makutawangsawardhana,
yang kemudian memiliki putri bernama Mahendradatta, yaitu ibu dari Airlangga.
Ayah dari Airlangga adalah Udayana Warmadewa raja Bali. Dalam
beberapa prasasti, nama Mahendradatta atau Gunapriya Dharmapatni disebut lebih
dulu sebelum suaminya. Hal ini menunjukkan seolah-olah kedudukan Mahendradatta
lebih tinggi daripada Udayana. Mungkin saat itu Bali merupakan negeri bawahan
Jawa. Penaklukan Bali diperkirakan terjadi pada zaman pemerintahan Dyah Balitung (sekitar tahun 890–900–an)
Prasasti Pucangan juga menyebutkan seorang raja
bernama Dharmawangsa
Teguh,
mertua sekaligus kerabat Airlangga. Para sejarawan cenderung sepakat bahwa
Dharmawangsa adalah putra Makutawangsawardhana. Pendapat ini diperkuat oleh
prasasti Sirah Keting yang menyebut Dharmawangsa dengan nama Sri Maharaja
Isyana Dharmawangsa.
Dengan demikian, Dharmawangsa dapat dipastikan sebagai
keturunan Mpu Sindok, meskipun prasasti Pucangan tidak menyebutnya dengan
pasti.
3. Daftar Para Raja
Daftar
para raja Wangsa Isyana dapat disusun sebagai berikut,
F. Kerajaan
Kediri
Ada
tahun 1019 M Airlangga dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Airlangga
berusaha memulihkan kembali kewibawaan Medang Kamulan, setelah kewibawaan
kerajaan berahasil dipulihkan, Airlangga memindahkan pusat pemerintahan dari
Medang Kamulan ke Kahuripan. Berkat jerih payahnya , Medang Kamulan mencapai
kejayaan dan kemakmuran. Menjelang akhir hayatnya , Airlangga memutuskan untuk
mundur dari pemerintahan dan menjadi pertapa dengan sebutan Resi Gentayu.
Airlangga meninggal pada tahun 1049 M.
Pewaris tahta kerajaan Medang Kamulan seharusnya seorang putri yaitu Sri Sanggramawijaya yang lahir dari seorang permaisuri. Namun karena memilih menjadi pertapa, tahta beralih pada putra Airlangga yang lahir dari selir. Untuk menghindari perang saudara, Medang Kamulan dibagi menjadi dua yaitu kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri (Panjalu) dengan ibu kota Dhaha. Tetapi upaya tersebut mengalami kegagalan. Hal ini dapat terlihat hingga abad ke 12 , dimana Kediri tetap menjadi kerajaan yang subur dan makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya dikarenakan dibayang- bayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih lemah. Hal itu menjadikan suasana gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan berlangsung terhadap pangeran dan raja – raja antar kedua negara. Namun perseteruan ini berakhir dengan kekalahan jenggala, kerajaan kembali dipersatukandi bawah kekuasaan Kediri.
Pewaris tahta kerajaan Medang Kamulan seharusnya seorang putri yaitu Sri Sanggramawijaya yang lahir dari seorang permaisuri. Namun karena memilih menjadi pertapa, tahta beralih pada putra Airlangga yang lahir dari selir. Untuk menghindari perang saudara, Medang Kamulan dibagi menjadi dua yaitu kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri (Panjalu) dengan ibu kota Dhaha. Tetapi upaya tersebut mengalami kegagalan. Hal ini dapat terlihat hingga abad ke 12 , dimana Kediri tetap menjadi kerajaan yang subur dan makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya dikarenakan dibayang- bayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih lemah. Hal itu menjadikan suasana gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan berlangsung terhadap pangeran dan raja – raja antar kedua negara. Namun perseteruan ini berakhir dengan kekalahan jenggala, kerajaan kembali dipersatukandi bawah kekuasaan Kediri.
1. Sistem pemerintahan kerajaan Kediri
Sistem pemerintahan kerajaan Kediri terjadi beberapa kali pergantian kekuasaan , adapun raja – raja yang pernah berkuasa pada masa kerajaan Kediri adalah :
1.Shri Jayawarsa Digjaya Shastraprabhu, Jayawarsa adalah raja pertama kerajaan Kediri dengan prasastinya yang berangka tahun 1104. Ia menamakan dirinya sebagai titisan Wisnu.
2.Kameshwara, Raja ke dua kerajaan Kediri yang bergelar Sri Maharajarake Sirikan Shri Kameshwara Sakalabhuwanatushtikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa, yang lebih dikenal sebagai kameshwara I (1115 – 1130 ). Lancana kerajaanya adalah tengkorak yang bertaring disebut Candrakapala. Dalam masa pemerintahannya Mpu Darmaja telah mengubah kitab samaradana. Dalam kitab ini sang raja di puji–puji sebagai titisan dewa Kama, dan ibukotanya yang keindahannya dikagumi seluruh dunia bernama Dahana. Permaisurinya bernama Shri Kirana, yang berasal dari Janggala.
3.Jayabaya, Raja kediri ketiga yang bergelar Shri Maharaja Shri Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka Parakramanindita Digjayotunggadewanama Shri Gandra. Dengan prasatinya pada tahun 1181. Raja Kediri paling terkenal adalah Prabu Jayabaya, di bawah pemerintahannya Kediri mencapai kejayaan. Keahlian sebagai pemimpin politik yang ulung Jayabaya termasyur dengan ramalannya. Ramalan–ramalan itu dikumpulkan dalam satu kitab yang berjudul jongko Joyoboyo. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dan hal budaya dan kesusastraan tidak tanggung–tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh kedepan menjadikan prabu Jayabaya layak dikenang.
4.Prabu Sarwaswera, Sebagai raja yang taat beragama dan budaya, prabu Sarwaswera memegang teguh prinsip tat wam asi yang artinya Dikaulah itu, , dikaulah (semua) itu , semua makhluk adalah engkau . tujuan hidup manusia menurut prabu Sarwaswera yang terakhir adalah mooksa, yaitu pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar adalah sesuatu yang menuju kearah kesatuan , segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah tidak benar.
5.Prabu Kroncharyadipa, Namanya yang berarti beteng kebenaran, sang prabu memang senantiasa berbuat adil pada masyarakatnya. Sebagai plemeluk agama yang taat mengendalikan diri dari pemerintahannya dengan prinsip , sad kama murka, yakni enam macam musuh dalam diri manusia. Keenam itu adalah kroda (marah), moha (kebingungan), kama (hawa nafsu),loba (rakus),mada (mabuk) , masarya (iri hati).
6.Srengga Kertajaya Srengga Kertajaya tak henti–hentinya bekerja keras demi bangsa negaranya. Masyarakat yang aman dan tentram sangat dia harapkan. Prinsip kesucian prabu Srengga menurut para dalang wayang dilukiskan oleh prapanca.
7.Pemerintahan Kertajaya Raja terakhir pada masa Kediri. Kertajaya raja yang mulia serta sangat peduli dengan rakyat. Kertajaya dikenal dengan catur marganya yang berarti empat jalan yaitu darma, arta, kama, moksa.
2. RUNTUHNYA KERAJAAN KEDIRI
Runtuhnya kerajaan Kediri dikarenakan pada masa pemerintahan Kertajaya , terjadi pertentangan dengan kaum Brahmana. Mereka menggangap Kertajaya telah melanggar agama dan memaksa meyembahnya sebagai dewa. Kemudian kaum Brahmana meminta perlindungan Ken Arok , akuwu Tumapel. Perseteruan memuncak menjadi pertempuran di desa Ganter, pada tahun 1222 M. Dalam pertempuarn itu Ken Arok dapat mengalahkan Kertajaya, pada masa itu menandai berakhirnya kerajaan Kediri.
III. Masuknya
Agama Islam di Indonesia
Sejarah mencatat bahwa kaum pedagang
memegang peranan penting dalam persebaran agama dan kebudayaan Islam. Letak
Indonesia yang strategis menyebabkan timbulnya bandarbandar perdagangan yang
turut membantu mempercepat persebaran tersebut. Di samping itu, cara lain yang
turut berperan ialah melalui dakwah yang dilakukan para mubaligh.
a. Peranan
Kaum Pedagang
Seperti
halnya penyebaran agama Hindu-Buddha, kaum pedagang memegang peranan penting
dalam proses penyebaran agama Islam, baik pedagang dari luar Indonesia
maupun para pedagang Indonesia.
Para
pedagang itu datang dan berdagang di pusat-pusat
perdagangan di daerah pesisir. Malaka merupakan pusat transit para pedagang. Di
samping itu, bandar-bandar di sekitar Malaka seperti Perlak dan Samudra Pasai
juga didatangi para pedagang.
Mereka
tinggal di tempat-tempat tersebut dalam waktu yang lama, untuk menunggu
datangnya angin musim. Pada saat menunggu inilah, terjadi pembauran
antarpedagang dari berbagai bangsa serta antara pedagang dan penduduk setempat.
Terjadilah kegiatan saling
memperkenalkan adat-istiadat, budaya bahkan agama. Bukan hanya melakukan
perdagangan, bahkan juga terjadi asimilasi melalui perkawinan.
Di
antara para pedagang tersebut, terdapat pedagang Arab, Persia, dan Gujarat yang
umumnya beragama Islam. Mereka mengenalkan agama dan budaya Islam kepada para
pedagang lain maupun kepada penduduk setempat. Maka, mulailah ada penduduk
Indonesia yang memeluk agama Islam. Lama-kelamaan penganut agama Islam makin
banyak. Bahkan kemudian berkembang perkampungan para pedagang Islam di daerahpesisir.
Penduduk
setempat yang telah memeluk agama Islam kemudian menyebarkan Islam kepada
sesama pedagang, juga kepada sanak familinya. Akhirnya, Islam mulai berkembang
di masyarakat Indonesia. Di
samping itu para pedagang dan pelayar tersebut juga ada yang menikah dengan
penduduk setempat sehingga lahirlah keluarga dan anak-anak yang Islam.
Hal
ini berlangsung terus selama bertahun-tahun sehingga akhirnya muncul sebuah
komunitas Islam, yang setelah kuat akhirnya membentuk sebuah pemerintahaan
Islam. Dari situlah lahir kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara.
b. Peranan
Bandar-Bandar di Indonesia
Bandar
merupakan tempat berlabuh kapal-kapal atau persinggahan kapal-kapaldagang. Bandar juga merupakan pusat
perdagangan, bahkan juga digunakan sebagai tempat tinggal para pengusaha perkapalan. Sebagai negara
kepulauan yang terletak pada jalur perdagangan internasional, Indonesia
memiliki banyak bandar. Bandar-bandar ini memiliki peranan dan arti yang
penting dalam proses masuknya Islam ke Indonesia.
Di
bandar-bandar inilah para pedagang beragama Islam memperkenalkan Islam kepada
para pedagang lain ataupun kepada penduduk setempat. Dengan demikian, bandar
menjadi pintu masuk dan pusat penyebaran agama Islam ke Indonesia. Kalau kita lihat letak
geografis kota-kota pusat kerajaan yang bercorak Islam pada umunya terletak di
pesisir-pesisir dan muara sungai.
Dalam
perkembangannya, bandar-bandar tersebut umumnya tumbuh menjadi kotabahkan ada yang menjadi kerajaan, seperti
Perlak, Samudra Pasai, Palembang, Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Demak, Jepara,
Tuban, Gresik, Banjarmasin, Gowa, Ternate, dan Tidore. Banyak pemimpin bandar
yang memeluk agama Islam. Akibatnya, rakyatnya pun kemudian banyak memeluk
agama Islam.
Peranan
bandar-bandar sebagai pusat perdagangan dapat kita lihat jejaknya. Para
pedagang di dalam kota mempunyai perkampungan sendiri-sendiri yang
penempatannya ditentukan atas persetujuan dari penguasa kota tersebut, misalnya
di Aceh, terdapat perkampungan orang Portugis, Benggalu Cina, Gujarat, Arab,
dan Pegu.
Begitu
juga di Banten dan kota-kota pasar kerajaan lainnya. Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa kota-kota pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam
memiliki ciri-ciri yang hampir sama antara lain letaknya di pesisir, ada pasar,
ada masjid, ada perkampungan, dan ada tempat para penguasa (sultan).
c. Peranan
Para Wali dan Ulama
Salah
satu cara penyebaran agama Islam ialah dengan cara
mendakwah. Di samping sebagai pedagang, para pedagang Islam juga berperan
sebagai mubaligh. Ada juga para mubaligh yang datang bersama pedagang dengan
misi agamanya. Penyebaran Islam melalui dakwah ini berjalan dengan cara para
ulama mendatangi masyarakat objek dakwah, dengan menggunakan pendekatan sosial
budaya. Pola ini memakai bentuk akulturasi, yaitu menggunakan jenis budaya
setempat yang dialiri dengan ajaran Islam di dalamnya. Di samping itu, para
ulama ini juga mendirikan pesantren-pesantren sebagai sarana pendidikan Islam.
Di
Pulau Jawa, penyebaran agama Islam dilakukan oleh Walisongo (9 wali). Wali
ialah orang yang sudah mencapai tingkatan tertentu dalam mendekatkan diri
kepada Allah. Para wali ini dekat dengan kalangan istana. Merekalah orang yang
memberikan pengesahan atas sah tidaknya seseorang naik tahta. Mereka juga
adalah penasihat sultan. Karena dekat dengan kalangan istana, mereka kemudian
diberi gelar sunan atau susuhunan (yang dijunjung tinggi). Kesembilan wali
tersebut adalah seperti berikut.
(1) Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim).
Inilah wali yang pertama datang ke Jawa pada abad ke-13 dan menyiarkan
Islam di sekitar Gresik. Dimakamkan di Gresik,
Jawa Timur.
(2) Sunan Ampel (Raden Rahmat). Menyiarkan
Islam di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Beliau merupakan perancang pembangunan
Masjid Demak.
(3) Sunan Derajad (Syarifudin). Anak dari
Sunan Ampel. Menyiarkan agama di sekitar
Surabaya. Seorang sunan yang sangat berjiwa sosial.
(4) Sunan Bonang (Makdum Ibrahim). Anak
dari Sunan Ampel. Menyiarkan Islam di Tuban, Lasem, dan Rembang. Sunan yang
sangat bijaksana.
(5) Sunan Kalijaga (Raden Mas Said/Jaka
Said). Murid Sunan Bonang. Menyiarkan Islam di Jawa Tengah. Seorang pemimpin,
pujangga, dan filosof. Menyiarkan agama dengan cara menyesuaikan dengan
lingkungan setempat.
(6) Sunan Giri (Raden Paku). Menyiarkan
Islam di luar Jawa, yaitu Madura, Bawean, Nusa Tenggara, dan Maluku. Menyiarkan
agama dengan metode bermain.
(7) Sunan Kudus (Jafar Sodiq). Menyiarkan
Islam di Kudus, Jawa Tengah. Seorang ahli seni bangunan. Hasilnya ialah Masjid
dan Menara Kudus.
(8) Sunan Muria (Raden Umar Said).
Menyiarkan Islam di lereng Gunung Muria, terletak antara Jepara dan Kudus, Jawa
Tengah. Sangat dekat dengan rakyat jelata.
(9) Sunan Gunung Jati (Syarif
Hidayatullah). Menyiarkan Islam di Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Seorang
pemimpin berjiwa besar
d. Perkembangan
Agama Islam di Indonesia
Sejarah
mencatat bahwa sejak awal Masehi, pedagang-pedagang dari India dan Cina sudah
memiliki hubungan dagang dengan penduduk Indonesia. Namun demikian, kapan
tepatnya Islam hadir di Nusantara?
Masuknya Islam ke Indonesia
menimbulkan berbagai teori. Meski terdapat beberapa pendapat mengenai
kedatangan agama Islam di Indonesia, banyak ahli sejarah cenderung percaya
bahwa masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-7 berdasarkan Berita Cina zaman
Dinasti Tang. Berita itu mencatat bahwa pada abad ke-7, terdapat permukiman
pedagang muslim dari Arab di Desa Baros, daerah pantai barat Sumatra Utara.
Abad ke-13 Masehi lebih menunjuk pada
perkembangan Islam bersamaan dengan tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia. Pendapat ini berdasarkan catatanperjalanan Marco Polo
yang menerangkan bahwa ia pernah singgah di Perlak pada tahun 1292 dan berjumpa
dengan orang-orang yang telah menganut agama Islam.
Bukti yang turut memperkuat pendapat ini
ialah ditemukannya nisan makam Raja Samudra Pasai, Sultan Malik al-Saleh yang
berangka tahun 1297. Jika diurutkan dari barat ke timur, Islam pertama kali
masuk di Perlak, bagian utara Sumatra. Hal ini menyangkut strategisnya letak
Perlak, yaitu di daerah Selat Malaka, jalur laut perdagangan internasional dari
barat ke timur. Berikutnya ialah Kerajaan Samudra Pasai.
Di Jawa, Islam masuk melalui pesisir utara
Pulau Jawa ditandai dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun bin
Hibatullah yang wafat pada tahun 475 Hijriah atau 1082 Masehi di Desa Leran,
Kecamatan Manyar, Gresik. Dilihat dari namanya, diperkirakan Fatimah adalah
keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di Persia. Di samping itu, di Gresik
juga ditemukan makam Malik Ibrahim dari Kasyan (satu tempat di Persia) yang
meninggal pada tahun 822 H atau 1419 M. Agak ke pedalaman, di Mojokerto juga
ditemukan ratusan kubur Islam kuno. Makam tertua berangka tahun 1374 M.
Diperkirakan makam-makam ini ialah makam keluarga istana Majapahit.
Di Kalimantan, Islam masuk melalui Pontianak
yang disiarkan oleh bangsawan Arab bernama Sultan Syarif Abdurrahman pada abad
ke-18. Di hulu Sungai Pawan, di Ketapang, Kalimantan Barat ditemukan pemakaman
Islam kuno. Angka tahun yang tertua pada makam-makam tersebut adalah tahun 1340
Saka (1418 M). Jadi, Islam telah ada sebelum abad ke-15 dan diperkirakan
berasal dari Majapahit karena bentuk makam bergaya Majapahit dan berangka tahun
Jawa kuno. Di Kalimantan Timur, Islam masuk melalui Kerajaan Kutai yang dibawa
oleh dua orang penyiar agama dari Minangkabau
yang bernama Tuan Haji Bandang dan Tuan Haji Tunggangparangan. Di Kalimantan
Selatan, Islam masuk melalui Kerajaan Banjar yang disiarkan oleh Dayyan,
seorang khatib (ahli khotbah) dari Demak. Di Kalimantan Tengah, bukti
kedatangan Islam ditemukan pada
masjid Ki Gede di Kotawaringin yang bertuliskan angka tahun 1434 M.
Di Sulawesi, Islam masuk melalui raja dan masyarakat
Gowa-Tallo. Hal masuknya Islam ke Sulawesi ini tercatat pada Lontara Bilang.
Menurut catatan tersebut, raja pertama yang memeluk Islam ialah Kanjeng
Matoaya, raja keempat dari Tallo yang memeluk Islam pada tahun 1603. Adapun
penyiar agama Islam di daerah ini
berasal antara lain dari Demak, Tuban, Gresik, Minangkabau, bahkan dari Campa. Di
Maluku, Islam masuk melalui bagian utara, yakni Ternate, Tidore, Bacan, dan
Jailolo. Diperkirakan Islam di daerah ini disiarkan oleh
keempat ulama dari Irak, yaitu Syekh Amin, Syekh Mansyur, Syekh Umar, dan Syekh
Yakub pada abad ke-8.
IV. Kerajaan-Kerajaan
Islam di Indonesia
A.
Kerajaan Samudera Pasai
1.
Sejarah
Kerajaan
Samudera Pasai terletak di Aceh, dan merupakan kerajaan Islam pertama di
Indonesia. Kerajaan ini didirikan oleh Meurah Silu pada tahun 1267 M.
Bukti-bukti arkeologis keberadaan kerajaan ini adalah ditemukannya makam
raja-raja Pasai di kampung Geudong, Aceh Utara. Makam ini terletak di dekat
reruntuhan bangunan pusat kerajaan Samudera di desaBeuringin, kecamatan
Samudera, sekitar 17 km sebelah timur Lhokseumawe. Di antara makam raja-raja
tersebut, terdapat nama Sultan Malik al-Saleh, Raja Pasai pertama. Malik al-
Saleh adalah nama baru Meurah Silu setelah ia masuk Islam, dan merupakan sultan
Islam pertama di Indonesia. Berkuasa lebih kurang 29 tahun (1297-1326 M).
Kerajaan Samudera Pasai merupakan gabungan dari Kerajaan Pase dan Peurlak,
dengan raja pertama Malik al- Saleh.
Seorang
pengembara Muslim dari Maghribi, Ibnu Bathutah sempat mengunjungi Pasai tahun
1346 M. ia juga menceritakan bahwa, ketika ia di Cina, ia melihat adanya kapal
Sultan Pasai di negeri Cina. Memang, sumber-sumber Cina ada menyebutkan bahwa
utusan Pasai secara rutin datang ke Cina untuk menyerahkan upeti. Informasi
lain juga menyebutkan bahwa,
Sultan
Pasai mengirimkan utusan ke Quilon, India Barat pada tahun 1282 M. Ini
membuktikan bahwa Pasai memiliki relasi yang cukup luas dengan kerajaan luar
Pada masa jayanya, Samudera Pasai merupakan pusat perniagaan penting di kawasan
itu, dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai negeri, seperti Cina, India,
Siam, Arab dan Persia. Komoditas utama adalah lada. Sebagai bandar perdagangan
yang besar, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang emas yang disebut dirham.
Uang ini digunakan secara resmi di kerajaan tersebut. Di samping sebagai pusat
perdagangan, Samudera Pasai juga merupakan pusat perkembangan agama Islam.
Seiring perkembangan zaman, Samudera mengalami kemunduran, hingga ditaklukkan
oleh Majapahit sekitar tahun 1360 M. Pada tahun 1524 M ditaklukkan oleh
kerajaan Aceh.
2.
Silsilah
1.
Sultan Malik al-Saleh (1267-1297 M)
2.
Sultan Muhammad Malikul Zahir (1297-1326 M)
3.
Sultan Ahmad Laidkudzahi
4.
Sultan Zainal Abidin Malik al-Zahir (1383-1405 M)
5.
Sultan Shalahuddin (1405-1412 M)
3.
Periode Pemerintahan
Rentang
masa kekuasan Samudera Pasai berlangsung sekitar 3 abad, dari abad ke-13 hingga
16
M.
4.
Wilayah Kekuasaan
Wilayah
kekuasaan Pasai mencakup wilayah Aceh ketika itu.
5.
Kehidupan Sosial-Budaya
Telah disebutkan di muka bahwa, Pasai merupakan kerajaan
besar, pusat perdagangan dan perkembangan agama Islam. Sebagai kerajaan besar,
di kerajaan ini juga berkembang suatu
kehidupan
yang menghasilkan karya tulis yang baik. Sekelompok minoritas kreatif berhasil
memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama Islam, untuk menulis karya
mereka dalam bahasa Melayu. Inilah yang kemudian disebut sebagai bahasa Jawi,
dan hurufnya disebut Arab Jawi. Di antara karya tulis tersebut adalah Hikayat
Raja Pasai (HRP). Bagian awal teks ini diperkirakan ditulis sekitar tahun 1360
M. HRP menandai dimulainya perkembangan sastra Melayu klasik di bumi nusantara.
Bahasa Melayu tersebut kemudian juga digunakan oleh Syaikh Abdurrauf
al-Singkili untuk menuliskan buku-bukunya. Sejalan dengan itu, juga berkembang
ilmu tasawuf. Di antara buku tasawuf yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu
adalah Durru al-Manzum, karya Maulana Abu Ishak. Kitab ini kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Makhdum Patakan, atas permintaan dari
Sultan Malaka. Informasi di atas menceritakan sekelumit peran yang telah dimainkan
oleh Samudera Pasai dalam posisinya sebagai pusat tamadun Islam di Asia
Tenggara pada masa itu.
B.
Kerajaan Demak
Kerajaan
Demak adalah kerajaan Islam terbesar di pantai
utara Jawa ("Pasisir"). Menurut tradisi
Jawa, Demak sebelumnya merupakan keadipatian (kadipaten) dari
kerajaanMajapahit, dan tercatat menjadi
pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa danIndonesia pada
umumnya. Kerajaan Demak tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran
karena terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada tahun1568,
kekuasaan Demak beralih ke Kerajaan Pajang yang
didirikan oleh Jaka Tingkir.
Salah satu peninggalan bersejarah Kerajaan Demak ialah Mesjid Agung Demak,
yang menurut tradisi didirikan oleh Walisongo.
Lokasi ibukota Kerajaan Demak, yang pada masa itu masih dapat dilayari dari
laut dan dinamakan Bintara (dibaca "Bintoro"
dalam bahasa Jawa),
saat ini telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah. Periode ketika beribukota di sana kadang-kadang
dikenal sebagai "Demak Bintara". Pada masa raja ke-4 ibukota
dipindahkan ke "Prawata" (dibaca "Prawoto").
1.Cikal-bakal
Pada
saat kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara praktis wilayah-wilayah
kekuasaannya mulai memisahkan diri. Wilayah-wilayah yang terbagi menjadi
kadipaten-kadipaten tersebut saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris
tahta Majapahit.
Demak
didirikan di perapat terakhir abad ke-15, kemungkinan besar oleh seorang
Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po. Kemungkinan besar
puteranya adalah orang yang oleh Tomé Pires dalam Suma Oriental-nya dijuluki "Pate
Rodim",
mungkin dimaksudkan "Badruddin" atau "Kamaruddin" dan
meninggal sekitar tahun 1504. Putera atau adik Rodim, yang bernama Trenggana bertahta
dari tahun 1505 sampai 1518, kemudian dari tahun 1521
sampai 1546. Di antara kedua masa ini yang bertahta adalah parnya, raja Yunus
dari Jepara.
Tradisi
Jawa menceritakan bahwa pada masa itu, arus kekuasaan mengerucut pada dua
adipati, yaitu Raden Patah dan Ki Ageng Pengging.
Sementara Raden Patah mendapat dukungan dari Walisongo, Ki Ageng Pengging mendapat
dukungan dari Syekh Siti Jenar
2.
Di bawah Pati Unus
Demak
di bawah Pati Unus adalah Demak yang
berwawasan nusantara. Visi besarnya adalah
menjadikan Demak sebagai kerajaan maritim yang besar. Pada masa
kepemimpinannya, Demak merasa terancam dengan pendudukan Portugis di Malaka.
Dengan adanya Portugis di Malaka,
kehancuran pelabuhan-pelabuhan Nusantara tinggal menunggu waktu
3.
Di bawah Trenggana
Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa
Timur dan Jawa Tengah. Di bawahnya, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa
lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta
menghalau tentara Portugis yang akan mendarat
di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527),
Malang (1545), danBlambangan,
kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546). Panglima
perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera),
yang juga menjadi menantu raja Trenggana. Trenggana meninggal
pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran
menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan
oleh Sunan Prawoto
4.
Kemunduran
Suksesi
ke tangan Sunan Prawoto tidak berlangsung mulus. Ia ditentang oleh adik
Trenggana, yaitu Pangeran Sekar Seda Lepen. Pangeran Sekar Seda
Lepen akhirnya terbunuh. Pada tahun 1561 Sunan Prawoto beserta keluarganya
"dihabisi" oleh suruhan Arya Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen. Arya
Penangsang kemudian menjadi penguasa tahta Demak. Suruhan Arya Penangsang juga
membunuh Pangeran Hadiri adipatiJepara, dan hal ini menyebabkan
banyak adipati memusuhi Arya Penangsang.
Arya
Penangsang akhirnya berhasil dibunuh dalam peperangan oleh Sutawijaya, anak angkat Joko Tingkir. Joko Tingkir memindahkan pusat
pemerintahan ke Pajang, dan di sana ia
mendirikan Kerajaan Pajang.
C.
Kerajaan Banten
Kesultanan
Banten merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri
di ProvinsiBanten, Indonesia.
Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan
pesisir barat Pulau Jawa,
dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai
pangkalan militer serta kawasan perdagangan.
Maulana
Hasanuddin,
putera Sunan Gunung
Jati berperan
dalam penaklukan tersebut, dan mendirikan benteng pertahanan yang
dinamakan Surosowan kemudian
hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kerajaan sendiri.
Selama
hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang
luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan
menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global
memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan
persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya.
Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah
sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan,
dan di masa-masa akhir pemerintanannya, para Sultan Banten tidak lebih dari
raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.
1. Pembentukan awal
Pada
awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana
Hasanuddin ke
kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran
dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama
Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap
dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513.
Atas perintahTrenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan
penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar
tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan
utama dari Kerajaan Sunda.
Selain
mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga
melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung.
Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga
telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura)
dan dianugerahi keris oleh raja tersebut
(Sultan Munawar Syah).
Seiring
dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana,
Banten yang sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan
menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana
Yusuf anak
dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570melanjutkan ekspansi Banten
ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579.
Kemudian ia digantikan anaknya Maulana
Muhammad,
yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai
bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara,
namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.
Pada
masa Pangeran Ratu anak
dari Maulana
Muhammad,
ia menjadi raja pertama diPulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan"
pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir.
Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melakukan hubungan
diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu, salah satu diketahui
surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James
I tahun
1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.
2. Puncak kejayaan
Kesultanan
Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangandalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas
perdagangan lada di Lampung, menempatkan penguasa
Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan
Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting
pada masa itu.[9]Perdagangan laut
berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu
orang Inggris, Denmark dan Tionghoa,
Banten berdagang dengan Persia, India, Siam,Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.
Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta
1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Di bawah dia, Banten
memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa,
serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam
mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya keSukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya
tahun 1661. Pada masa ini Banten juga berusaha keluar
dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas
kapal-kapal dagang menuju Banten.
3. Perang saudara
Sekitar
tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan
kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan dukungan kepada
Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan. Sementara dalam
memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan
Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang
utusannya, menemui Raja Inggris di
London tahun 1682 untuk mendapatkan
dukungan serta bantuan persenjataan. Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa
mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa,
namun pada28 Desember 1682 kawasan
ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya
yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur
ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14
Maret 1683 Sultan
Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia.
Sementara
VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang masih
berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5
Mei 1683,
VOC mengirim Untung Surapati yang
berpangkat letnan beserta
pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan
Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di
mana pada 14 Desember 1683 mereka
berhasil menawan Syekh Yusuf. Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran
Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh
Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan
membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang
dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di antara mereka,
puncaknya pada 28 Januari 1684,
pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta
pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru
pada 7 Februari 1684 sampai
di Batavia.
4. Penurunan
Bantuan
dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan kompensasi
kepada VOC di antaranya pada 12 Maret 1682,
wilayah Lampung diserahkan kepada VOC, seperti tertera dalam
surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC
di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat
itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC
memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.[16] Selain
itu berdasarkan perjanjian tanggal 17 April 1684,
Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian akibat perang tersebut kepada VOC.
Setelah
meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan pengaruhnya di
Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat
persetujuan dari Gubernur
Jendral Hindia-Belanda di Batavia. Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya diangkat
mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun, selanjutnya
digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad
Zainul Abidin dan
kemudian dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.
Perang
saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan ketidakstabilan pemerintahan
masa berikutnya. Konfik antara keturunan penguasa Banten maupun gejolak
ketidakpuasan masyarakat Banten, atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten.
Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa akhir pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa
Zainul Arifin,
di antaranya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa. Akibat konflik yang
berkepanjangan Sultan Banten kembali meminta bantuan VOC dalam meredam beberapa
perlawanan rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah
menjadi vassal dari VOC.
5. Penghapusan
kesultanan
Pada
tahun 1808 Herman
Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810,
memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk
mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris.[19] Daendels
memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan
menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan
dibangun di Ujung Kulon.
Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan
penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta
keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian dipenjarakan
di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqinkemudian
diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808,
Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa
wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.
Kesultanan
Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah
kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad
Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun tahta
oleh Thomas
Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan pamungkas yang
mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.
6. Agama
Berdasarkan
data arkeologis, masa awal masyarakat Banten dipengaruhi oleh beberapa kerajaan
yang membawa keyakinan Hindu-Budha,
seperti Tarumanagara, Sriwijayadan Kerajaan Sunda.
Dalam Babad
Banten menceritakan bagaimana Sunan Gunung Jati bersama Maulana
Hasanuddin,
melakukan penyebaran agama Islam secara intensif
kepada penguasa Banten Girang beserta
penduduknya. Beberapa cerita mistis juga mengiringi proses islamisasi di
Banten, termasuk ketika pada masa Maulana
Yusuf mulai
menyebarkan dakwah kepada penduduk pedalaman Sunda, yang ditandai dengan
penaklukan Pakuan Pajajaran.
Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, Sultan
Banten dirujuk memiliki silsilah sampai kepada Nabi Muhammad,
dan menempatkan para ulama memiliki pengaruh
yang besar dalam kehidupan masyarakatnya, seiring itu tarekat maupun tasawuf juga
berkembang di Banten. Sementara budaya masyarakat menyerap Islam sebagai bagian
yang tidak terpisahkan. Beberapa tradisi yang ada dipengaruhi oleh perkembangan
Islam di masyarakat, seperti terlihat pada kesenian bela diri Debus.
Kadi memainkan peranan
penting dalam pemerintahan Kesultanan Banten, selain bertanggungjawab dalam
penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, juga dalam penegakan hukum Islam
seperti hudud.
Toleransi
umat beragama di Banten, berkembang dengan baik. Walau didominasi olehmuslim,
namun komunitas tertentu diperkenankan membangun sarana peribadatan mereka, di
mana sekitar tahun 1673 telah berdiri
beberapa klenteng pada kawasan
sekitar pelabuhan Banten.
7. Kependudukan
Kemajuan
Kesultanan Banten ditopang oleh jumlah penduduk yang banyak serta multi-etnis.
Mulai dari Jawa, Sunda dan Melayu.
Sementara kelompok etnis nusantara lain dengan jumlah
signifikan antara lain Makasar, Bugis dan Bali.
Dari beberapa sumber Eropa disebutkan sekitar tahun 1672,
di Banten diperkirakan terdapat antara 100 000 sampai 200 000 orang lelaki yang
siap untuk berperang, sumber lain menyebutkan, bahwa di Banten dapat direkrut
sebanyak 10 000 orang yang siap memanggul senjata. Namun dari sumber yang
paling dapat diandalkan, pada Dagh Register-(16.1.1673)menyebutkan
dari sensus yang dilakukan VOC pada tahun 1673,
diperkirakan penduduk di kota Banten yang mampu menggunakan tombak atau senapan berjumlah
sekita 55 000 orang. Jika keseluruhan penduduk dihitung, apa pun
kewarganegaraan mereka, diperkirakan berjumlah sekitar 150 000 penduduk,
termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia.
Sekitar
tahun 1676 ribuan masyarakat Cina mencari suaka dan
bekerja di Banten. Gelombang migrasi ini akibat berkecamuknya perang di Fujian serta
pada kawasan Cina Selatan lainnya. Masyarakat ini umumnya membangun pemukiman
sekitar pinggiran pantai dan sungai serta memiliki proporsi jumlah yang
signifikan dibandingkan masyarakat India dan Arab.
Sementara di Banten beberapa kelompok masyarakat Eropa seperti Inggris, Belanda,Perancis, Denmark dan Portugal juga
telah membangun pemondokan dan gudang di sekitar Ci Banten.
8. Perekonomian
Dalam meletakan dasar pembangunan ekonomi Banten,
selain di bidang perdaganganuntuk
daerah pesisir, pada kawasan pedalaman pembukaan sawah mulai
diperkenalkan. Asumsi ini berkembang karena pada waktu itu di beberapa kawasan
pedalaman sepertiLebak, perekonomian
masyarakatnya ditopang oleh kegiatan perladangan,
sebagaimana penafsiran dari naskah sanghyang
siksakanda ng karesian yang menceritakan adanya istilahpahuma (peladang), panggerek (pemburu)
dan panyadap (penyadap). Ketiga istilah ini jelas lebih kepada
sistem ladang, begitu juga dengan nama peralatanya seperti kujang, patik,baliung, kored dan sadap.
Pada masa Sultan Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan
pengairan besar dilakukan untuk mengembangkan pertanian.
Antara 30 dan 40 km kanal baru dibangun dengan menggunakan tenaga sebanyak 16
000 orang. Di sepanjang kanal tersebut, antara 30
dan 40 000 ribu hektar sawah baru dan ribuan hektar perkebunan kelapa ditanam.
30 000-an petaniditempatkan di atas tanah
tersebut, termasuk orang Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar Cina
di tahun 1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan Ageng, perkembangan penduduk
Banten meningkat signifikan.
Tak dapat dipungkiri sampai pada tahun 1678,
Banten telah menjadi kotametropolitan,
dengan jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan Banten sebagai
salah satu kota terbesar di dunia pada masa tersebut.
9. Pemerintahan
Setelah
Banten muncul sebagai kerajaan yang mandiri, penguasanya menggunakan
gelar Sultan,
sementara dalam lingkaran istana terdapat
gelar Pangeran Ratu, Pangeran Adipati, Pangeran
Gusti, dan Pangeran Anom yang disandang oleh para pewaris.
Pada pemerintahan Banten terdapat seseorang dengan gelar Mangkubumi, Kadi, Patih sertaSyahbandar yang
memiliki peran dalam administrasi pemerintahan. Sementara pada masyarakat
Banten terdapat kelompok bangsawan yang digelari
dengan tubagus (Ratu
Bagus), ratu atau sayyid,
dan golongan khusus lainya yang mendapat kedudukan istimewa adalah terdiri atas
kaum ulama, pamong
praja,
serta kaum jawara.
Pusat pemerintahan Banten berada antara dua buah sungai yaitu Ci Banten dan Ci
Karangantu.
Di kawasan tersebut dahulunya juga didirikan pasar, alun-alun dan Istana Surosowan yang dikelilingi oleh tembok beserta
parit, sementara disebelah utara dari istana dibangun Masjid Agung Banten dengan
menara berbentuk mercusuar yang
kemungkinan dahulunya juga berfungsi sebagai menara pengawas untuk melihat
kedatangan kapal di Banten.
Berdasarkan Sejarah Banten, lokasi pasar utama di
Banten berada antara Masjid Agung Banten dan Ci Banten, dan dikenal dengan
nama Kapalembangan. Sementara pada kawasan alun-alun terdapat paseban yang
digunakan oleh Sultan Banten sebagai tempat untuk menyampaikan maklumat kepada
rakyatnya. Secara keseluruhan rancangan kota Banten berbentuk segi empat yang
dpengaruhi oleh konsep Hindu-Budha atau representasi yang dikenal dengan
nama mandala.[13] Selain
itu pada kawasan kota terdapat beberapakampung yang
mewakili etnis tertentu, seperti Kampung Pekojan
(Persia) dan Kampung Pecinan.
Kesultanan Banten telah menerapkan cukai atas
kapal-kapal yang singah ke Banten, pemungutan cukai ini dilakukan oleh Syahbandar yang
berada di kawasan yang dinamakanPabean. Salah seorang syahbandar yang
terkenal pada masa Sultan Ageng bernamaSyahbandar Kaytsu.
10. Daftar penguasa Banten
11. Warisan sejarah
Setelah dihapuskannya Kesultanan Banten, wilayah Banten
menjadi bagian dari kawasan kolonialisasi. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tahun 1817 Banten dijadikankeresidenan,
dan sejak tahun 1926 wilayah tersebut menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Kejayaan masa lalu Kesultanan Banten
menginspirasikan masyarakatnya untuk menjadikan kawasan Banten kembali menjadi
satu kawasan otonomi, reformasi pemerintahan Indonesiaberperan
mendorong kawasan Banten sebagai provinsi tersendiri yang
kemudian ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000.
Selain itu masyarakat Banten telah menjadi satu kumpulan
etnik tersendiri yang diwarnai oleh perpaduan antar-etnis yang pernah ada pada
masa kejayaan Kesultanan Banten, dan keberagaman ini pernah menjadikan
masyarakat Banten sebagai salah satu kekuatan yang dominan di Nusantara.
D.
Kerajaan Mataram
Kyai Ageng Pemanahan bergelar Kyai Ageng Mataram. Mataram
adalah nama daerah yang dihadiahkan kepadanya oleh Sultan Sultan Hadiwijoyo,
Sultan di Kerajaan Pajang. Karena Kyai Ageng Mataram bersama putranya Hangabehi
Loring Pasar (Danang Sutowijoyo) telah dapat mengalahkan Raden Adipati Aryo
Penangsang pada tahun 1527 M di Jipang Panolan.
Kyai
Ageng Pemanahan selanjutnya minta ijin kepada Sultan untuk menempati daerah
Mataram itu. Sultan Hadiwijoyo mengizinkan dan berpesan,” Seorang gadis dari
Kalinyamat itu supaya diasuh dan dijaga baik-baik. Apalagi sudah dewasa
hendaklah dibawa masuk ke Istana”.
Pesan
itu disanggupi oleh Kyai Ageng Pemanahan, tetapi ia memohon agar diperkenankan
mengajak putra Sultan Hangabehi Loring Pasar untuk pindah ke Mataram. Kyai Ageng
Pemanahan sekeluarga berangkatlah menuju tlatah Mataram disertai dua orang
menantunya, yakni Raden Dadap Tulis dan Tumenggung Mayang. Ditambah pula Nyi
Ageng Nis istri Kyai Ageng Mataram dan penasehatnya Ki Ageng Juru Martani.
Peristiwa ini terjadi pada hari Kamis Pon tanggal 3 Rabiulawal tahun Jimawal.
Dalam perjalanan mereka singgah berziarah ke Istana Pengging sehari semalam.
Kyai
Ageng sekeluarga melakukan doa dan sembahyang, memohon petunjuk kepada Tuhan,
melakukan semedi dan shalat hajat, doanya ternyata diterima Tuhan, muncul
pertanda pepohonan seketika menjadi condong, tetapi pohon serat tinggal tetap
tegap. Setelah sembahyang subuh mereka berangkat menuju Mataram dan berhenti di
desa Wiyoro. Selanjutnya membangun sebuah desa yakni desa Karangsari setelah
singgah sementara waktu Kyai Ageng Pemanahan dan Ki Juru Mertani mencari pohon
beringin yang telah ditanam oleh Sunan Kali Jogo untuk tetenger di sanalah
letaknya wilayah Mataram dimaksud.
Terdapatlah
pohon tersebut di sebelah barat daya Wiyoro. Lalu memilih tanah sebelah selatan
beringin yang hendak dipakai sebagai halaman dan rumah untuk bertempat tinggal
Kyai Ageng Pemanahan beserta keluarga. Mereka bekerja keras, hingga pembangunan
rumah beliau selesai dalam waktu singkat. Kemudian rumah baru segera
ditempati Kyai Ageng Pemanahan yang kemudian tersohor namanya dengan gelar Kyai
Ageng Mataram. Banyak saudara asing ke Mataram sehingga menambah ramai dan
makmurnya Mataram (sekarang dikenal dengan nama Kotagede, pusat kerajinan perak
di Yogyakarta).
Sahdan
gadis pingitan Sinuhun Sultan Hadiwijoyo yang berasal dari Kalinyamat kini
telah dewasa. Ngabehi Loring Pasar (Raden Danang Sutowijoyo) pun telah
dewasa. Ia mengganggu gadis pingitan tersebut. Hal ini segera diketahui oleh
ayahnya Ki Ageng Mataram. Anaknya dipanggil lalu bersabda:
Ki Ageng Mataram; Anakku..mengapa kamu berani mengganggu
gadis pingitan, alangkah amarahnya Sinuhun nanti apabila mengetahui.
Raden
Sutowijoyo berkata; ”Saya berani melakukan hal itu, karena telah menerima
wahyu.
KAM
: Bagaimana kamu dapat mengatakan demikian itu ?
R.S
: Ya. Demikianlah ketika mendengar daun nyiur jatuh ayah Sultan terkejut, lagi
pula ketika hendak minum air kelapa itu terkejut pula.
Kyai
Ageng Mataram menyatakan, kini belum masanya dan mengajak putranya mengharap
untuk berjanji tetap setia. Keduanya berangkat, pergi ke kasultanan Pajang.
Sinuhun Sultan Hadiwijoyo sedang bercengkerama dihadap para putranya dan
keluarganya. Melihat kedatangan Kyai Ageng Mataram diantar putranya. Lalu
sesudah berjabat tangan Ngabehi Loring Pasar pun menghadap menghaturkan
sembah-bakti. Sinuhun bertanya dengan keheranan mengapa datang menghadap bukan
waktunya menghadap. Kyai Ageng Mataram menyatakan bahwa menghadapnya itu karena
putranya telah berdosa besar berani melanggar dan mengganggu gadis pingitan
dari Kalinyamat.
Dengan
bijaksana Sinuhun Sultan Hadiwijoyo berkata,”Anak tidak berdosa, kalau demikian
memang salah saya, tidak memikirkan anak yang telah dewasa. Oleh karena sudah
terlanjur kamipun ikut menyetujui. Tetapi anak jangan dimurka, pinta Sinuhun
kepada Ki Ageng Mataram.
Waktu
sudah berjalan sekian lama, karena usianya sudah uzur, Ki Ageng Mataram gering
lalu mangkat pada hari Senin Pon 27 Ruwah tahun Je 1533. Dimakamkan di sebelah
barat Istana Mataram di Kotagede, Yogyakarta. Sementara itu, Ki Jurumartani
pergi ke negeri Pajang menghadapkan putra Ki Ageng Mataram. Sinuhun lalu
bercengkerama dengan Ki Jurumartani memberitahukan tentang mangkatnya Ki Ageng
Mataram, Sinuhun terkejut hatinya dan bersabda;
“Kakak
Jurumartani, sebagai ganti dari penghuni Mataram ialah Ngabehi Loring Pasar dan
harap dimufakati dengan nama Pangeran Haryo Mataram Senopati Pupuh”. Ki
Jurumartani menyanggupi lalu mohon ijin kembali, peristiwa ini terjadi pada
tahun 1540. Lalu Pangeran Haryo Mataram diangkat pada tahun Dal 1551 bergelar
Kanjeng Panembahan Senopati ing Ngalogo yang menguasai tanah Jawa. Kemudian
menurunkan raja-raja Surakarta dan Yogyakarta, demikian pula para Bupati di
pantai-pantai Jawa hingga sekarang.
Kanjeng
Panembahan Senopati memegang kekuasaan kerajaan 13 tahun lamanya. Sesudah
gering kemudian mangkat, pada hari Jumat Pon bulan Suro tahun Wawu 1563.
Dimakamkan di sebelah barat Masjid di bawah ayahandanya. Selanjutnya putranya
yang menggantikan dengan gelar Kanjeng Susuhunan Prabu Hanyokrowati.
Penobatannya dalam bulan yang bersamaan dengan wafatnya Kanjeng Panembahan
Senopati.
Pada
suatu hari, Kanjeng Susuhunan pergi berburu rusa ke hutan. Dengan tiada terasa
telah berpisah dengan para pengantar dan pengawalnya, kemudian beliau diserang
punggungnya oleh rusa dan beliau jatuh ke tanah. Sinuhun diangkat ke istana dan
ia perintahkan memanggil kakanda Panembahan Purboyo.
Sinuhun
bersabda, “Kakanda, andaikata kami sampai meninggal, oleh karena Gusti Hadipati
sedang bepergian, putramu Martopuro harap ditetapkan sebagai wakil menguasai
Negeri Mataram. Amanat tersebut disanggupi, Sinuhun terkenal dengan gelar
Sinuhun Seda Krapyak. Beliau mangkat pada bulan Besar, tuhan Jimawal 1565 dan
dimakamkan di sebelah bawah makan ayahandanya, Panembahan Senopati.
Demikian
sejarah singkat kerajaan Mataram, yang sampai saat ini terbukti masih berdiri
kokoh. Lalu dari keturunan manakah raja-raja besar Mataram ? Berikut ini
paparan silsilah leluhur kerajaan Mataram:
1. Sinuhun Brawijaya V, raja
kerajaan Majapahit terakhir berputera Raden Bondan Kejawan yang
bergelar Kyai Ageng Tarub ke III.
2. Kyai Ageng Tarub III mempunyai
putra yakni Kyai Ageng Getas Pandowo.
3. Kyai Ageng Getas Pandowo
berputera Ki Ageng Selo.
4. Kyai Ageng Selo berputera Ki
Ageng Nis.
5. Ki Ageng Nis berputera Ki Ageng
Pemanahan (Ki Ageng Mataram).
6. Ki Ageng Pemanahan berputera
Kanjeng Panembahan Senopati ing Ngalogo.
7. Kanjeng Panembahan Senopati ing
Ngalogo berputera Sinuhun Prabu Hanyokrowati.
8. Sinuhun Prabu Hanyokrowati
berputera Kanjeng Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo Kalipatullah Panetep
Panatagama Senopati ing Prang
Bagi
kebanyakan masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta dan Solo, percaya dengan kisah
mistik raja-raja Mataram yang berhubungan erat dengan Kanjeng Ratu Kidul.
Kanjeng Ratu Kidul entitasnya bukan lah sejenis jin, siluman atau setan, tetapi
merupakan wujud panitisan dari bidadari, yang turun ke dalam dimensi gaibnya
bumi (bukan alam ruh/barzah), berperan menjaga keseimbangan alam semesta
khususnya sepanjang pesisir selatan Jawa dan wilayah samodra selatan Nusantara.
Menjaga kelestarian alam dengan mencegah atau menghukum manusia yang tidak
menghormati alam semesta ciptaan Tuhan YME, atau manusia yang merusak
keseimbangan alam dengan cara mengambil kekayaan alam secara serakah dan tamak.
Kanjeng Ratu Kidul sebagaimana raja atau ratu gung binatara yang bijaksana dan
sakti mandraguna, manembah tunduk kepada Gusti Ingkang Akaryo jagad. Namun
demikian, Kanjeng Ratu Kidul tetap sebagai entitas mahluk halus, dalam arti
tidak memiliki raga atau jasad dalam bentuk fisik.
E.
Kerajaan Makassar
a.
Letak Kerajaan
Kerajaan Gowa dan Tallo lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak di daerah Sulawesi Selatan. Secara geografis Sulawesi Selatan memiliki posisi yang penting, karena dekat dengan jalur pelayaran perdagangan Nusantara. Bahkan daerah Makassar menjadi pusat persinggahan para pedagang, baik yang berasal dari Indonesia bagian timur maupun para pedagang yang berasal dari daerah Indonesia bagian barat. Dengan letak seperti ini mengakibatkan Kerajaan Makassar berkembang menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara.
b. Kehidupan Politik
Perkembangan pesat Kerajaan Makassar tidak terlepas dari raja-raja yang pernah memertntah seperti: Raja Alaudin Dalam abad ke-17 M, agama Islam berkembang cukup pesat di Sulawesi Selatan. Raja Makassar yang pertama memeluk agama Islam bernama Raja Alaudin yang memerintah Makassar dari tahun 1591-1638 M. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Makassar mulai terjun dalam dunia pelayaran-perdagangan (dunia maritim). Perkembangan ini menyebabkan meningkatnya kesejahteraan rakyat Kerajaan Makassar. Namun setelah wafatnya Raja Alauddin, keadaan pemerintahan kerajaan tidak dapat diketahui dengan pasti.
Sultan Hasanuddin Pada masa peme-rintahan Sultan Hasanuddin, Kerajaan Makassar mencapai masa kejayaannya. Dalam waktu yang cukup singkat, Kera¬jaan Makassar telah berhasil menguasai hampir seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Cita-cita Sultan Hasanuddin untuk menguasai sepenuhnya jalur perdagang-an Nusantara, mendorong perluasan ke-kuasannya ke kepulauan Nusa Tenggara, seperti Sumbawa dan sebagian Flores. Dengan demikian, seluruh aktivitas pelayaran perdagangan yang melalui Laut Flores harus singgah lebih dulu di ibukota Kerajaan Makassar.
Keadaan seperti itu ditentang oleh Belanda yang memiliki daerah kekuasaan di Maluku dengan pusatnya Ambon. Hubungan Batavia dengan Ambon terhalang oleh kekuasaan Kerajaan Makassar. Pertentangan antara Makassar dan Belanda sering menimbulkan peperangan. Keberanian Sultan Hasanuddin memimpin pasukan Kerajaan Makassar untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku, mengakibatkan Belanda semakin terdesak. Atas keberaniannya, Belanda memberi julukan kepada Sultan Hasanuddin dengan sebutan "Ayam Jantan dari Timur".
Dalam upaya menguasai Kerajaan Makassar, Belanda menjalin hubungan dengan Kerajaan Bone, dengan rajanya Arung Palaka. Dengan bantuan Arung Palaka, pasukan Belanda berhasil mendesak Kerajaan Makassar dan menguasai ibukota kerajaan. Akhimya dilanjutkan dengan Perjanjian Bongaya (1667 M).
Mapasomba Setelah Sultan Hasanuddin turun tahta, ia digantikan oleh putranya yang bernama Mapasomba. Sultan Hasanuddin sangat berharap agar Mapasomba dapat bekerja sama dengan Belanda. Tujuannya agar Kerajaan Makassar tetap dapat bertahan. Ternyata Mapasomba jauh lebih keras dari ayahnya sehingga Belanda mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menghadapi Mapasomba. Pasukan Mapasomba berhasil di-hancurkan dan ia tidak diketahui nasibnya. Dengan kemenangan itu, akhirnya Belanda berkuasa atas Kerajaan Makassar.
F.
Kerajaan Ternate dan Tidore
1.
Letak Kerajaan
Secara
geografis kerajaan Ternate dan Tidore terletak
di Kepulauan Maluku, antara Sulawesi dan Papua. Letak tersebut sangat strategis
dan penting dalam dunia perdagangan masa itu. Pada masa itu, kepulauan Maluku
merupakan penghasil rempah-rempah terbesar sehingga dijuluki sebagai “The Spicy
Island”. Rempah-rempah menjadi komoditas utama dalam dunia perdagangan pada
saat itu, sehingga setiap pedagang maupun bangsa-bangsa yang datang dan
bertujuan ke sana. Melewati rute perdagangan tersebut agama Islam meluas ke
Maluku, seperti Ambon, Ternate, dan Tidore. Keadaan seperti ini telah
mempengaruhi aspek-aspek kehidupan masyarakatnya, baik dalam bidang politik,
ekonomi, sosial, dan budaya.
Pada abad ke 14 Masehi, di Maluku Utara telah berdiri 4
kerajaan yaitu Jailolo,Ternate, Tidore, dan Bacan. Masing-masing kerajaan
dipimpin oleh seorang kolano. Keempat kerajaan tersebut berasal dari satu
keturunan, yaitu JAFAR SADIK, seorang bangsa Arab keturunan Nabi Muhammad saw.
Kemajuan Ternate membuat iri kerajaan lainnya. Beberapa kali keempat kerajaan
tersebut terlibat perang memperebutkan hegemoni rempah-rempah.
Namun, akhirnya mereka dapat mengakhirinya dalam
perundingan di Pulau Motir. Dalam persetujan Motir ditetapkan Ternate menjadi
kerajaan pertama, Jailolo kedua, Tidore yang ketiga, dan Bacan yang keempat.
Kerajaan- kerajaan di Maluku sangat akrab menjalin hubungan ekonomi dengan
pedagang Jawa sejak zaman Majapahit. Pedagang Maluku sering mengunjungi bandar
seperti Surabaya, Gresik, dan Tuban. Sebaliknya, pedagang Jawa datang ke Maluku
untuk membeli rempah-rempah. Hubungan kedua belah pihak ini sangat berpengaruh
terhadap proses penyebaran agama islam di Indonesia. Sejak abad ke-13, Maluku sudah
ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang Islam dari Jawa dan Melayu. Seiring
dengan ramainya perdagangan, berdatangan pula para mubaligh dari Jawa Timur
untuk mengajarkan agama Islam.Salah seorang mubaligh yang berjasa menyiarkan
agama islam di Maluku ialah Sunan Giri dari Gresik, Jawa Timur.
Kerajaan Ternate merupakan kerajaan yang mendapatkan
pengaruh Islam dari para pedagang Jawa dan Melayu. Pusat pemerintahan Ternate
terdapat di Sampalu. Raja ternate yang pertama ialah Sultan Zainal Abidin
(1486-1500). Raja Ternate yang terkenal ialah Sultan Harun. Hasil utama Ternate
waktu itu ialah cengkeh dan pala.
2.
Kehidupan Politik
Di
kepulauan Maluku terdapat kerajaan kecil, diantaranya kerajaan ternate sebagai
pemimpin Uli Lima yaitu persekutuan lima bersaudara. Uli Siwa yang berarti
persekutuan sembilan bersaudara. Ketika bangsa Portugis masuk, Portugis
langsung memihak dan membantu Ternate, Hal ini dikarenakan Portugis mengira
Ternate lebih kuat. Begitu pula bangsa Spanyol memihak Tidore akhirnya
terjadilah peperangan antara dua bangsa kulit, untuk menyelesaikan, Paus turun
tangan dan menciptakan perjanjian Saragosa. Dalam perjanjian tersebut bangsa
Spanyol harus meninggalkan Maluku dan pindah ke Filipina, sedangkan Portugis
tetap berada di Maluku.
Untuk
dapat memperkuat kedudukannya, portugis mendirikan sebuah benteng yang di beri
nama Benteng Santo Paulo. Namun tindakan Portugis semakin lama di benci oleh
rakyat dan para penjabat kerajaan Ternate. Oleh karena itu Sultan Hairun secara
terang-terangan menentang politik monopoli dari bangsa Portugis. Sultan
Baabullah (Putra Sultan Hairun) bangkit menentang Portugis. Tahun 1575 M
Portugis dapat dikalahkan dan meninggalkan benteng.
3.
Kehidupan Ekonomi
Tanah di kepulauan Maluku itu subur dan diliputi hutan rimba yang banyak memberikan hasil diantaranya cengkeh dan di kepulauan Banda banyak menghasilkan pala. Pada abad ke 12 M permintaan rempah-rempah meningkat, sehingga cengkeh merupakan komoditi yang penting. Pesatnya perkembangan perdagangan keluar Maluku mengakibatkan terbentuknya persekutuan. Selain itu mata pencaharian perikanan turut mendukung perekonomian masyarakat.
4. Kehidupan Sosial
Kedatangan bangsa Portugis di kepulauan Maluku bertujuan untuk menjalin perdagangan dan mendapatkan rempah-rempah. Bangsa Portugis juga ingin mengembangkan agama Katholik. Dalam 1534 M, agama Katholik telah mempunyai pijakan yang kuat di Halmahera, Ternate, dan Ambon, berkat kegiatan Fransiskus Xaverius. Seperti sudah diketahui, bahwa sebagian dari daerah maluku terutama Ternate sebagai pusatnya, sudah masuk agama islam. Oleh karena itu, tidak jarang perbedaan agama ini dimanfaatkan oleh orang-orang Portugis untuk memancing pertentangan antara para pemeluk agama itu. Dan bila pertentangan sudah terjadi maka pertentangan akan diperuncing lagi dengan campur tangannya orang-orang Portugis dalam bidang pemerintahan, sehingga seakan-akan merekalah yang berkuasa. Setelah masuknya kompeni Belanda di Maluku, semua orang yang sudah memeluk agama Katholik harus berganti agama menjadi Protestan. Hal ini menimbulkan masalah-masalah sosial yang sangat besar dalam kehidupan rakyat dan semakin tertekannya kehidupan rakyat. Keadaan ini menimbulkan amarah yang luar biasa dari rakyat Maluku kepada kompeni Belanda. Di Bawah pimpinan Sultan Ternate, perang umum berkobar, namun perlawanan tersebut dapat dipadamkan oleh kompeni Belanda. Kehidupan rakyat Maluku pada zaman kompeni Belanda sangat memprihatinkan sehingga muncul gerakan menentang Kompeni Belanda.
5. Kehidupan Budaya
Rakyat Maluku, yang didominasi oleh aktivitas perekonomian tampaknya tidak begitu banyak mempunyai kesempatan untuk menghasilkan karya-karya dalam bentuk kebudayaan. Jenis-jenis kebudayaan rakyat Maluku tidak begitu banyak kita ketahui sejak dari zaman berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam seperti Ternate dan Tidore.
BAB
II
INDONESIA
MASA KOLONIALISME
A. Indonesia
di Bawah VOC
Atas usul Johan Van Oldenbarneveld dibentuklah sebuah
perusahaan yang disebut Vereemigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada tanggal
20 Maret 1602 dan kemudian 1610 VOC diakui Pemerintah Nederlad sebagai
pemerintahan di Ambon dan diangkatlah Gubernur Jendralnya Pieter Both
sampai 1619. Tujuan pembentukan VOC tidak lain adalah menghindarkan
persaingan antar pengusaha Belanda (intern) serta mampu menghadapi persaingan
dengan bangsa lain terutama Spanyol dan Portugis sebagai musuhnya
(ekstern). Sebagai Pemerintah VOC diberi oktroi (hak-hak istimewa)
sebagai berikut :
1.
Dianggap sebagai wakil pemerintah Belanda di Asia
2. Monopoli perdagangan
3. Mencetak dang mengedarkan uang sendiri
4. Mengadakan perjanjian
5. Menaklukkan perang dengan negara lain
6. Menjalankan kekuasaan kehakiman
7. Pemungutan pajak
8. Memiliki angkatan perang sendiri
9. Mengadakan pemerintahan sendiri.
2. Monopoli perdagangan
3. Mencetak dang mengedarkan uang sendiri
4. Mengadakan perjanjian
5. Menaklukkan perang dengan negara lain
6. Menjalankan kekuasaan kehakiman
7. Pemungutan pajak
8. Memiliki angkatan perang sendiri
9. Mengadakan pemerintahan sendiri.
Untuk
melaksanakan kekuasaannya di Indonesia diangkatlan jabatan Gubernur
Jenderal VOC antara lain: Pieter Both, merupakan Gubernur Jenderal VOC pertama
yang memerintah tahun 1610-1619 di Ambon. Kemudian digantikan oleh Jan
Pieterzoon Coen 1619 ) , merupakan Gubernur Jenderal kedua yang memindahkan
pusat VOC dari Ambon ke Jayakarta (Batavia). Karena letaknya strategis di
tengah-tengah Nusantara memudahkan pelayaran ke Belanda. Adapun cara-cara yang
ditempuh pemerintah VOC dalam menjalankan roda pemerintahan antara lain :
1.
Melakukan pelayaran hongi
2.
Melakukan Ekstirpasi yaitu penebangan tanaman, milik rakyat
3.
Perjanjian dengan raja-raja setempat terutama yang kalah perang wajib
menyerahkan hasil bumi yang dibutuhkan VOC dengan harga yang ditetapkan VOC.
Penyerahan wajib disebut Verplichte Leverantien. Rakyat wajib menyerahkan hasil
bumi sebagai pajak, yang disebut dengan istilah Contingenten
Pada
pertengahan abad ke 18 VOC mengalamii kemunduran karena beberapa sebab sehingga
dibubarkan. 31 Desember 1799 , hal ini disebabkan hal – hal sebagai berikut :
1.
Banyak pegawai VOC yang curang dan korupsi
2.
Banyak pengeluaran untuk biaya peperangan contoh perang melawan Hasanuddin dari
Gowa.
3.
Banyaknya gaji yang harus dibayar karena kekuasaan yang luas membutuh kan
pegawai yang banyak
4.
Pembayaran Devident ( keuntungan ) bagi pemegang saham turut memberatkan
setelah pemasukan VOC kekurangan
5.
Bertambahnya saingan dagang di Asia terutama Inggris dan Perancis.
Perubahan politik di Belanda dengan berdirinya Republik Bataaf 1795 yang
demokratis dan liberal menganjurkan perdagangan bebas.
B. Pergantian
Pemerintah dari VOC ke Hindia Belanda
Dengan
dibubarkannya VOC, Indonesia diwariskan kepada pemerintah di Negeri Belanda yg
saat itu disebut Bataafsche Republik. Penguasa yang dipercaya untuk mengurus
Tanah Jajahan di Asia termasuk Indonesia adalah Raad van Asiatische
Besittingen en Establisement yang bertanggung jawab kepada Dewan
Eksekutif Rebublik. Pada tahun 1807 Jendral H.W. Daendels diangkat menjadi
Gubernur Jendral di Indonesia. Ia berusaha keras melaksanakan pemusatan
kekuasaan berdasarkan pada Korps Pangreh Praja Belanda dan Bumi Putera yg
berdisiplin. Menurut Daendels kekuasaan pejabat yg diwariskan VOC terlalu besar
sehingga mudah untuk memperkaya diri dengan cara melakukan korupsi. Pejabat yg
dinilai terlalu besar kekuasaannya antara lain adalah Gubernur Pantai Jawa
Timur Laut dan Residen yang berkedudukan di Kraton Yogyakarta dan Surakarta.
Untuk melaksanakan maksudnya Daendels menghapus
Gubernemen Pantai Jawa Timur Laut. Demikian puula Residen yang berkedudukan di
Kerajaan Jawa yang berada di bawah Gubernur diambilalih langsung di bawah
pemerintah pusat di Batavia. Daerah Jawa di luar kerajaan Surakarta dan
Yogyakarta dibagi menjadi sembilan daerah administratif yang disebut
dengan Perfectur , yang kelak pada masa pemerintahan Raffles
diubah dengan nama Karesidenan yang kemudian terkenal dengan nama Gewest .
Tiap Perfectur dikuasasi oleh se orang Perfect yang berada di bawah perintah
langsung pemerintah pusat di Batavia.
Apabila pada masa VOC kekuasaan pemerintah daerah
diserahkan kepada para Bupati maka Daendels tidak mengikuti pola semacam ini.
Daendels mengurangi banyak kekuasaan para Bupati sehingga peran Bupati itu
tidak lebih dari se orang leverancier hasil bumi bagi kepentingan pemerintah
Kolonial. Dengan demikian posisi Bupati diturunkan menjadi pegawai pemerintah
kolonial meskipun tidak memperoleh gaji. Sebagai pegawai pemerintah Bupati
ditempatkan di bawah Perfect, sedangkan gaji bawahannya masih menjadi
tanggungjawab para Bupati.
Meskipun demikian Bupati masih diperlukan oleh Daendels.
Dengan dipertahankannya sistem leveransi dan kontingenten peran Bupati masih
sangat penting yaitu sebagai penghubung antara pemerintah dengan rakyat. Dengan
dipertahankannya penguasa pribumi sebenarnya sangat penting artinya namun
Daendels tidak ingin peran penting penguasa Bumi Putera itu terlihat secara
nyata. Untuk itu Daendels melakukan tindakan berupa pengapusan perbedaan yang
ada antara Bupati yang berkedudukan di Priangan dengan Bupati yang berkedudukan
di Pantai Jawa Timur Laut seperti pada masa VOC. Stelsel Priangan yang
diciptakan VOC dipertahankan oleh Daendels maupun oleh penguasa Inggris
kemudian. Stelsel Priangan yang menjiwai Sistem Tanam Paksa (STP) buatan Van
den Bosch itu dipertahankan sampai tahun 1871.
Pembenahan yang dilakukan Daendels dalam penyediaan mesin
birokrasi adalah memperbanyak kantor pengadilan. Tiap Perfect diangkat menjadi
Ketua Land Gerecht dan Bupati menjadi Ketua Vrijde
Gerecht. Land Gerecht bertugas mengadili perkara yang menyangkut orang
Eropa dan golongan tertentu dari orang bumi Putera sedangkan Vrijde Gerecht
mengadili perkara orang pribumi. Para Bupati juga mendapat kedudukan militer di
bawah kekuasaan Perfect. Hak jabatan yang secara tradisional para Bupati yaitu
turun temurun tetap dipertanahkan.
Pembenahan untuk pejabat di lingkungan lebih bawah dari
Bupati ada yang diantaranya berada di bawah pemerintah Pusat. Mereka diangkat
dan diberhentikan oleh pemerintah Pusat bukan oleh Bupati. Bupati mempunyai
kewajiban menggaji pegawai yaitu para kepala Wilayah yang ada di bawah
kekuasaannya. Secara tradisional Bupati memperoleh sepersepuluh dari hasil
panen dan memperoleh tenaga tanpa dibayar dari penduduk yang ada diwilayah
kekuasaannya. Daendels mengurangi hak Bupati untuk memperoleh sepersepuluh
hasil bumi atau hak pancen dan hak memperoleh tenaga tanpa upah. Bagi petani
pengurangan penyerahan pancen dan kerja wajib itu boleh jadi tidak penting
namun bagi Bupati hal itu sangat penting karena menyangkut status simbol
sebagai seorang penguasa tradisional.
Pembenahan yang dilakukan itu menyangkut hubungan antara
Bupati dengan Pemerintah Belanda. Karena pembenahan itu tidak ada sangkut
pautnya dengan perikehidupan rakyat maka rakyat pada umumnya tidak mengetahui
perubahan tersebut. Daendels ternyata mengikuti kebijakan yang telah dirintis
oleh VOC. Hal itu tampak jelas jika dicermati perubahan yang dia lakukan
setelah pemerintahan VOC serta membandingkan dengan teori politikyang dianutnya
dengan praktek yang ia lakukan.
Reformasi atau pembenahan yang dilakukan Daendels yang
lain adalah misalnya ia berusaha keras memberantas kecurangan di kalangan
pejabat negara. Justru langkah inilah yang membuat ia mempunyai banyak musuh
dari kalangan bangsa Belanda sendiri. Disamping politik keuangannya tidak
menguntungkan pemerintah beberapa tindakannya dinilai sebagai menguntungkan
diri sendiri. Lawan politik Daendels yang terkenal antara lain adalah M.R.G.
van Polanen dan Nicolaas Engelhard, Gubernur Pantai Jawa Timur Laut yang
dilepas oleh Daendels. Untuk membersihkan dirinya dari tuduhan musuh politiknya
Daendels menerbitkan buku berjudulStaat der Nederlandsch Oost-Indische
bezittingen onder het bestuur van den Gouverneur Generaal H.W. Daendels pada
1814. Buku tersebut dikritik dengan tajam oleh van Polanen dan Engelhard.
Di samping itu Daendels juga tidak disukai di kalangan
pejabat Bumi Putera. Para bangsawan banyak yang kecewa karena kebijakannnya
yang merugikan mereka. Pada 1810 Kaisar Napoleon mengeluarkan Dekrit yang
menyatakan Negeri Belanda masuk ke dalam Imperium Prancis. Setahun kemudian
berita itu sampai ke Indonesia dan disambut dengan senang hati olh Daendels.
Karena ia yakin bahwa hal itu akan membawa perbaikan bagi Indonesia. Semua
pegawai bersumpah setia kepada Kaisar Napoleon. Pada 1811 Daendels
diberhentikan oleh Kaisar Napoleon. Perberhentian itu rupanya bukan karena
Kaisar Napoleon yakin akan kesalahan Daendels tetapi karena desakan lawan-lawan
Daendels yang sangat keras.
C. Politik
Kolonial Masa Transisi
1. Masa
Pemerintahan Herman Willem Daendels (1808-1811)
Herman William Daendels memulai jabatan sebagai Gubernur
Jenderal Hindia Belanda saat dia menapak Pulau Jawa, tanggal 1 Januari 1808
dengan menumpang kapal Virginia. Perjalanan panjang ditempuh Daendels dari
Eropa menuju Jawa mengingat kala itu lautan sudah dikuasai angkatan laut
Kerajaan Inggris yang maha kuasa semasa Perang Napoleon berkecamuk di Eropa,
Afrika dan Asia. Sejarawan Djoko Marihandono yang mengadakan penelitian tentang
Daendels dan Hindia Belanda di bawah kekuasaan Prancis menjelaskan, dalam
diskusi terbatas di Harian Kompas, betapa Daendels harus kucing-kucingan untuk
menempuh perjalanan berbahaya dari Eropa tanggal 18 Februari 1807. Dia sempat
menghadap Napoleon Bonaparte di Paris untuk menyampaikan usulan kebijakan yang
akan diterapkan di Hindia Timur (Nusantara). Kala itu, Belanda yang beralih
sistem menjadi Republik Bataaf (1795-1806) kemudian diduduki Prancis yang
menetapkan Louis Napoleon (orang Belanda menyebut sebagai Lodewijk
Napoleon-red) untuk memimpin Belanda sebagai wilayah Prancis. Daendels mendapat
promosi kenaikan pangkat dari Kolonel Jenderal menjadi Marsekal, kata
Djoko.Daendels memiliki kewenangan luas yakni dari Tanjung Harapan di Afrika
Selatan hingga ke Hindia Timur (Nusantara-red ). Namun, pada kenyataan, kala
itu-tahun 1808- kekuasaan Napoleon di Afrika Selatan dan Nusantara hanya
tersisa di Pulau Jawa.Perjalanan Daendels memakan waktu 10 bulan. Dia pergi ke
pelabuhan Bordeaux, tetapi laut sudah diblokade Inggris sehingga harus mencari
alternatif ke Lisabon di Portugal. Lagi-lagi dia menghadapi kondisi serupa
yakni blokade laut Inggris.Pramoedya Ananta Toer mencatat dalam Jalan Pos Jalan
Daendels, betapa Daendels harus menyaru dan memalsukan identitas agar dapat
meloloskan diri dari Eropa menuju Jawa.Akhirnya Daendels meninggalkan Portugal
dan tiba di Maroko. Ketika itu, Maroko baru saja menyetujui perjanjian damai
dengan Eropa untuk mengakhiri perdagangan budak bangsa Eropa (Giles Milton,
White Gold). Salah satu panglima angkatan laut Inggris yang memaksa penguasa
Maroko dan Aljazair mengakhiri perbudakan bangsa kulit putih adalah Laksamana
Thomas Pellew yang juga pernah memblokade Batavia dan membombardir Pulau Onrust
(catatan dalam White Gold dan pameran VOC di Erasmus Huis, 2008).Di Maroko,
Daendels sempat dirampok bajak laut sehingga kehilangan semua dokumen. Dia
meloloskan diri ke Kepulauan Kanari di lepas pantai barat Afrika-kini wilayah
Spanyol-untuk mencari kapal ke Asia. Djoko mencatat, di Pulau Kanari, Daendels
berhasil menyewa kapal Amerika, Virginia yang mengantarnya menyelinap ke Pulau
Jawa.
2. Masa
Pemerintahan Raffles ( 1811-1816)
a. Biografi
Raffles
Thomas
Stamford Raffles adalah seorang yang kurang mempunyai karakter hebat, tapi
cukup bijaksana untuk lebih memelih reputasi dalam sejarah daripada penghasilan
material sesaat (Vlekke, 2008). Bernama lengkap Thomas Stamford Bringley
Raffles ini lahir 6 Juli 1781 berkewarganegaraan Inggris. Ia adalah seorang
Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang terbesar. Ia juga dikatakan pendiri kota
dan Negara kota Singapura. Ayahnya adalah seorang kapten bernama Benjamin
Raffles dan Ibunya adalah Anne Lyde Linderman, namun akibat terhimpit krisis
ekonomi dan terjerat kasus dalam perdagangan budak di kepulauan Karibia
mengakibatkan ayahnya meninggal saat Raffles berusia 15 tahun. Saat itu juga ia
mulai bekerja sebagai pegawai di London untuk perusahan Hindia Timur Britania
yang banyak berperan dalam penaklukan Inggris di luar Negeri (id.wikipedia.org)
dan diangkat ke posisi agen perusahaan di Pulau Penang pada 1805. Di sini dia
memulai studinya atas bahasa, adat istiadat, dan sejarah Melayu. Bermula
menjadi palayan humaniter utama kemudian menciptakan lewat tulisannya, suatu
legenda histori mengenai administrasinya di Jawa dan akhirnya dengan suatu
kebijakan ekspansi yang berani sehingga membuat dia mencapai keberhasilan
terbesarnya yaitu pendirian Singapura.
Dia menulis begitu baik dalam bentuk yang sangat menarik,
sehingga selama seabad setelah kematiannya orang menilai Raffles lebih
berdasarkan kata-katanya dari pada perbuatannya. Dari sinilah ia dinilai lebih
unggul dari pada para pendahulu-pendahulunya dalam administrasi kolonial. Dari
gabungan ambisi membara dan kecerdasan brilian tersebut, membuat Raffles orang
yang tepat untuk menjalankan rencana Lord Minto untuk Indonesia. Kala waktu itu
untuk menyerang dan menghancurkan kekuatan Belanda di Indonesia (Vlekke, 2008).
Keberhasilan Inggris dalam ekspansinya ini membawa nama
Raffles menjadi semakin dikenal dan yang tidak kalah pentingnya adalah
melejitnya karir Raffles yang semakin tinggi di usianya yang masih muda. Itu
disebabkan karena pemerintah Inggris mempercayakan semua kendali di nusantara
kepadanya. Sehingga di tunjuklah Raffles sebagai Letnan Gubernur oleh Lord
Minto sebelum kembali ke Kalkuta (Vlekke, 2008). Dia menjadi Jenderal Gubernur
di Jawa pada tahun 1811-1816. Selama di Jawa dalam menjalankan tugasnya,
nampaknya Raffles juga memiliki keterkaitan erat dengan orang Jawa, bahkan ia
lebih suka dengan orang Jawa dari pada dengan orang Belanda. Sebab orang Jawa
tidak memiliki sifat amuk (chaos). Selain itu Raffles juga menyimpan
besar perhatiannya pada budaya dan sastra Jawa, karena ketertarikanya tersebut
ia mengembangkan Museum Ethnografi Batavia, yang sampai saat ini masih berdiri
megah. Sebelumnya Belanda telah mendirikan lembaga kebudayaan yang bernama Koninklijk
Bataviaasch Genootschap. Lembaga ini yang memelopori pendirian Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia (1778) dan Museum Gajah (1862) yang kesemuanya
berada di Jakarta. Pada 1814, Thomas Stamford Raffles mendengar berita adanya
penemuan benda purbakala di sekitar Magelang, Jawa Tengah. Raffles kemudian
mengutus H.C. Cornelius untuk menyelidiki lokasi penemuan berupa bukit yang
dipenuhi semak belukar. Ia memerintahkan agar “bukit ilalang” itu dibersihkan,
sehingga tampaklah sebuah candi raksasa yang dipenuhi patung Buddha Mahayana.
orang. Raffles juga bercerita tentang keberadaan Candi Penataran yang berlokasi
di sebelah utara Blitar (Jawa Timur). Raffles menemukan candi ini pada 1815
bersama seorang naturalis dan ahli kedokteran berkebangsaan Amerika, ialah
Thomas Walker Horsfield. Raffles kembali ke London (1815) karena mengidap
penyakit tropis yang cukup parah, serta kesedihannya yang sangat dalam atas
meninggalnya istrinya pada 26 November 1814 karena penyakit malaria (Raffles,
2008) dan dimakamkan di Batavia tepatnya yang sekarang menjadi Museum Prasasti.
Di kebun raya Bogor juga dibangun monument peringatan untuk mengenang kematian
sang isteri (id.wikipedia.org).
Pada tahun 1818, Thomas Stamford Raffles kembali ke timur
dan di promosikan menjadi gubernur Bengkulu. Disana banyak yang telah dilakukan
yaitu mengagas proyek benama Singapore, mendirikan benteng, dan Ia juga dikenal
sebagai pecinta lingkungan yang penuh gairah di bidang boilogi. Banyak
sederetan nama binatang dan tumbuhan telah dinamai dengan menggunakan namanya
(Raffles, 2008). Salah satu tumbuhan yang paling terkenal adalah benama Rafflesia
Arnoldii, sejenis tumbuhan parasit di pohon Palem, merupakan hasil
penemuan Raffles di sekitar Bengkulu (Sumatra). Tanaman ini merupakan endemic di
Asia Tenggara dan memiliki kelopak bunga terbesar serta paling spektakuler di
dunia. Sekembalinya ke London Thomas Stamford Raffles mendirikan London Zoo dan
Zoological Society of London yang sampai saat ini masih terkenal. Ia pun
menjadi presiden pertama dalam lembaga ilmiah ini. Dari sinilah Raffles
menghabiskan masa hidupnya yaitu di Kota dan Negara asalnya. Seorang anak yang
tengah menjelma menjadi seorang figure dan menjadi seorang tokoh cerdas,
bijaksana serta peduli terhadap sesama telah menyatu semua dalam diri raffles.
Menurut catatan Sophia Malkasian, mahasiswa pascasarjana pada Southeast Asia
Studies Program, Ohio University, Amerika Serikat mengatakan Raffles dianggap
sebagai salah seorang pelopor kajian Jawa, serta bukunya menjadi sumber gagasan
Barat mengenai daerah tersebut, dan sebagai titik awal pengkajian wilayah
Timur.
Perjuangan telah dilakukan demi keluarga dan negaranya
mulai dari masa remaja hingga menutup mata. Banyak sumber yang mengatakan bahwa
Thomas Stamford Raffles meninggal dunia sehari sebelum ulang tahunnya yang
ke-45 (5 July 1826), atau hanya dua tahun sekembalinya dari Hindia-Timur,
karena menderita apoplexy atau Stroke (Raffles,
2008). Karena pendirianya yang menentang perbudakan, keluarganya tidak
diizinkan mengebumikannya di halaman gereja setempat (St.Mary’s, Hendon).
Larangan ini dikeluarkan pendeta gereja itu, yang keluarganya memetik
keuntungan dari perdagangan budak. Ketika gereja itu diperluas pada 1920-an,
kuburannya dimasukkan ke dalam bagian bangunannya.
b. Masa
Kepemimpinan Raffles di Nusantara
Sejak tahun 1800, blokade Inggris terhadap Belanda
semakin memuncak. Kedudukan-kedudukan Belanda yang ada di luar Jawa (hanya
Ambon yang agak kuat) diserang Inggris. Demikianlah Ambon, Gorontalo, Banda,
Ternate, praktis dapat dikuasainya. Tidak dengan Jawa, rupanya pertahanan masih
kuat dan memerlukan perhitungan militer yang lebih serius. Tetapi keputusan itu
belum diambil oleh pucuk pimpinan Inggris di India. Walaupun demikian,
persiapan untuk menyerang Jawa telah dilakukan sejak masa-masa sebelumnya
(Dekker, 1993).
Pada tahun 1808 mulai berlangsung suatu zaman baru dalam
hubungan Jawa-Eropa. Negeri Belanda telah berada di bawah kekuasaan Perancis
sejak tahun 1795. Sehubungan dengan sentralisasi kekuasaan yang semakin besar,
maka Napoleon Bonaperte mengangkat adiknya, Louis Napoleon sebagai penguasa di
negeri Belanda pada tahun 1806. Pada tahun 1808, Louis mengirim Marsekal Herman
Willem Daendels ke Batavia untuk menjadi Gubernur jenderal (1808-1811) dan
untuk memperkuat pertahanan Jawa sebagai basis melawan Inggris di Samudera
Hindia. Dalam perjalanannya Daendels tidak membawa pasukan baru bersamanya
bahkan memakai bendera Amerika untuk menghindari serangan atau hadangan Inggris
di India. Dengan tidak adanya pasukan yang dibawa dia segera membentuk pasukan
yang terdiri dari sebagian besar terdiri atas orang-orang Indonesia, berjumlah
dari 4000 menjadi 18000 orang (Ricklefs, 2005).
Tekanan blockade Inggris yang berat terhadap Belanda
melumpuhkan export kopi yang merupakan salah satu sumber penghasilan yang
besar. Suasana ekonomi di bawah Daendels yang bersifat revolusioner dan
diktaktor ini rusak. Di samping itu kebencian terhadapnya datang dari semua
golongan termasuk orang-orang Eropa sendiri. Maksudnya memberantas penyelewengan
dan korupsi yang menyelimuti administrasi Eropa banyak mengalami kegagalan
(Ricklefs, 2005). Salah satu contoh tindakan Daendels yang hanya menghasilkan
kebencian adalah sebagai berikut, seperti disebutkan di atas, bahwa Ambon masih
dipertahankan oleh Belanda dalam ukuran kecil. Di sana ditempatkan seorang
colonel Perancis yang bernama Filz. Akibat serangan Inggris itu Filz menyerah.
Dia dibebaskan oleh Inggris dan kemudian pergi ke Batavia untuk mempertanggung
jawabkan perbuatannya. Hasilnya malahan colonel yang malang itu dimarahinya dan
kemudian dijatuhi hukuman mati (dengan jalan ditembak), itu merupakan perbuatan
yang tidak bertanggung jawab yang dilakukan oleh seorang pemimpin seperti
Daendels. Adapun perlawanan diberbagai tempat terhadap Daendels yang serba
keras dari bangsa Indonesia antara lain ialah Banten, Cirebon, dan Yogyakarta
(Dekker, 1993).
Pada 1811, Thomas Stamford Raffles disertakan dalam
rombongan ekspedisi ke tanah Jawa sebagai Letnan Gubernur di bawah perintah
Gubernur Jenderal (di India) Sir Gilbert Elliot Murray-Kynyn-mond atau yang
lebih dikenal dengan nama Lord Minto, hingga 1817. Lord Minto menyukai Raffles
karena kecerdikanya, keterampilan, dan kemampuannya dalam berbahasa Melayu,
sehingga ia dikirim ke Malaka. Tidak lama setelah tiba di tanah Jawa pasca
Perancis menguasai Kerajaan Belanda, Raffles mengatur ekspedisi melawan militer
Belanda di Jawa. Penyerbuan itu dipimpin oleh Admiral Robert Stopford, Jenderal
Watherhall, Kolonel Gillespie2 (Raffles,
2008) dan disamping itu ikut juga Jenderal Auchmuty3 dimana
Kapitulasi Tuntang adalah pertanda yang secara resmi mengakhiri riwayat
Belanda-Perancis di Indonesia. Berikut mengenai isi dari Kapitulasi Tuntang
yang di tanda tangani oleh Auchmuty dari pihak Inggris dan Janssen dari pihak
Belanda, pada tanggal 18 September 1811 :
1. Seluruh Jawa
diserahkan kepada Inggris
2. Semua serdadu
menjadi tawanan dan semua pegawai yang mau kerja sama dengan Inggris, dapat
memegang jabatan terus
3. Semua
hutang-piutang pemerintah belanda yang dulu, tidak akan ditanggung oleh
Inggris.
Seminggu sebelum Kapitulasi Tuntang, Raffles telah
diangkat sebagai Letnan Gubernur Jenderal namun pusat kendali tetap berada di
Calcuta (Dekker, 1993). Dalam hal yang seperti ini masih ada juga perbedaan
dalam penilaian terhadap Belanda antara Lord Minto dengan Raffles. Munculnya
dua aliran ini sangat berbeda jauh yaitu aliran Lord Minto yang bersikap lunak dan
terbuka terhadap Belanda yang telah kalah dan mau mempergunakan bangunan dan
tenaga mereka kembali asalkan setia kepada Inggris, dan aliran Raffles yang
bersifat membenci terhadap apa saja yang berbau Belanda yang dianggapnya
sebagai kolot dan kejam.
Setelah takhluknya Belanda dari tangan Inggris, kepulauan
Indonesia sepenuhnya berada di bawah control perusahaan Hindia Timur Inggris
dan dibagi dalam empat unit administratif yaitu pemerintahan Malaka, Bengkulu,
Jawa, Maluku. Dengan perubahan administratif ini Maluku sangat beruntung karena
monopoli tidak dihapus melainkan ditetapkan dengan lebih longgar, sebab
Perusahaan Hindia Timur Inggris tidak mempunyai kepentingan financial untuk
menjaga ketat sistem itu seperti Belanda (Vlekke, 2008). Apabila dilihat
sebagai kesatuan revolusi Daendels dan Raffles sama-sama tokoh yang paling
penting bagi sejarah Indonesia yaitu sebagai pencetus revolusi penjajahan,
suatu kebijakan baru yang menuntut pelaksanaan kedaulatan dan kekuasaan
administrasi Eropa di seluruh pemerintahan Jawa yang tujuannya memanfaatkan,
memperbaharui, atau menghancurkan lembaga-lembaga asli semuanya (Rickefs,
2005). Pemerintahan langsung rakyat oleh pejabat pemerintah yang digaji harus
menggantikan pemerintahan tidak langsung lewat perantara kepala-kepala daerah
herediter (Vlekke, 2008).
Thomas Stamford Raffles pernah menjadi Gubernur Jenderal
pada masa yang sangat singkat di Jawa yaitu mulai tahun 1811 sampai dengan
1816. Selama kepemimipinannya, Raffles mengubah sistem tanam paksa (culture
stelsel) yang diberlakukan colonial Belanda, yaitu sistem kepemilikan tanah
yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh tulisan awal Dirk van Hogendorp, dengan
kebijakan landrente4.
Prinsip yang digunakannya berdasarkan pada teori liberalisme, seperti yang
dipraktikkan Inggris di India. Seperti dalam bidang perekonomian dan keuangan
Raffles menetapkan bahwa :
· semua
tanah adalah milik Negara, dan rakyat sebagai pemakai (penggarap) tanah wajib
membayar sewa (berupa pajak bumi) kepada pemerintah.
· Pemimpin
pribumi seperti sultan dan bupati yang tidak taat pada peraturanlandrente, akan
dipecat.
· Meneruskan
usaha yang dilakukan Belanda misalnya penjualan tanah kepada swasta, serta
penanaman kopi, melaksanakan penanaman bebas yang melibatkan rakyat dalam
perdagangan.
· Memonopoli
garam agar tidak dipermainkan dalm perdagangan karena sangat penting bagi
rakyat.
· Menghapus
segala penyerahan wajib dan kerja rodi.
· Dia
juga mengubah sistem berkendara di koloni Belanda menjadi sistem berkendara
seperti di Inggris yaitu memakai jalur kiri yang berlaku dan dipakai sampai
saat ini (Gus Anam’s, 2010 blog)
Selain
menerapkan kebijakan landrente, dalam bidang pemerintahan
Thomas Stamford Raffles juga menerapkan kebijakannya melalui :
· Membagi
tanah Jawa ke dalam 16 karesidenan
· Mengurangi
jabatan bupati yang berkuasa (Raffles, 2008)
· Mengangkat
Bupati menjadi pegawai negeri yang digaji
· Mempraktekkan
sistem yuri dalam pengadialn seperti di Inggris
· Melarang
adanya perbudakan, membangun pusat pemerintahan di Istana Bogor (Gus Anam’s,
2010 blog)
· Kesultanan
Banten dihapuskan, kedaulatan kesultanan Cirebon harus diserahkan kepada
colonial Inggris (Raffles, 2008).
Disamping
kebijakan-kebijakan yang telah disebutkan, Raffles juga seoarang sarjana yang
tertarik dalam Sejarah dan keadaan alam Indonesia. Yaitu dengan membangun
gedung Harmoni di jalan Majapahit Jakarta untuk lembaga pengetahuan yang
berdiri sejak tahun 1778 yang bernama Bataviaasch Genootschap Pada 13 agustus
1814 diberlakukan konvensi London yang memuat bahwa seluruh wilayah yang pernah
dikuasai Belanda harus dikembalikan kepada pihak Inggris tetapi tidak berlaku
atas Bangka, Belitung, dan Bengkulu. Sebenarnya Raffles tidak menerima hal ini
karena kekayaan Hindia-Belanda sanagat menguntungkan pihak Inggris, naumun ia
terpaksa menandatanganinya yang merupakan bagian dari penyusunan kembali secara
menyeluruh urusan-urusan Eropa setelah perang-perang Napoleon. Raffles akhirnya
ditarik kembali ke Inggrisdan digantikan oleh John Fendall yang melaksanakan
keputusan konvensi London sekaligus serah terimanya. Tahun 1818 Raffles kembali
ke timur untuk Jabatan barunya yaitu menjadi Gubernur Bengkulu. Setelah setahun
pemerintahannya ia menggagas proyek bernama Singapore. Proyek mercusuar ini
adalah pelampiasan dari rasa kekecewaannya karena penyerahan tanah Jawa kepada
Belanda. Diapun akhirnya terkenal sekali sebagai pendiri Singapura. Sebelum
kepulangannya ke London, di Bengkulu Raffles mendirikan benteng Inggris paling
besar kedua di Asia Pasifik, setelah benteng utamanya di India. Dari pendirian
benteng yang permanen, kokoh dan multifungsi itu dapat dipastikan kalau Raffles
memiliki cita-cita di kawasan ini. Karena parahnya gejolak politik yang mendera
Eropa pada tahun 1823 ia terpaksa untuk meninggalkan Sumatra. Namun Raffles
sempat mewujudkan obsesinya di Singapura dan dalam proyek botani dan satwa
Hindia Timur, terutama di pulau Sumatra. Tonggak imperalis Inggris ini
menggagas pendirian Raffles Museum di Singapura. Misinya adalah mencatat dan
mendokumentasikan binatang dan tanaman khas yang terdapat di pulau Jawa dan
Sumatra (Raffles, 2008). Salah satunya adalah jenis tanaman bunga sekaligus
nama Raffles diabadikan sebagai nama bunga itu, yaitu Rafflesia
Arnoldii (Gus Anam’s 2010 blog). Karena peran besar
Raffles, di Simgapura akhirnya diabadikan dengan bentuk patung atau monumuen
Raffles untuk mengenang tokoh besar itu.
Berakhirnya
pemerintahan Raffles karena kondisi eropa sudah tidak mendukung. Kedudukan
Napoleon telah goyah, dan Belanda telah bangkit untuk melawan Perancis.
Ujungnya terselesaikan pada 1824 yang disepakati di London. Britania berjanji
tidak akan lagi campur tangan di Sumatra atau pulau-pulau lain di kepalauan
Indonesia. Begitu juga orang Belanda berjanji menghormati kemerdekaan Aceh,
tapi sekaligus bertekad melindungi pelayaran di sekitar ujung utara Sumatra
dari perompak-perompak Aceh. Perjanjian 1824 mengakhiri kekuasaan Britania atas
Bengkulu (Vlekke, 2008). Hingga akhirnya Nusantara kembali di bawah kekuasaan
Belanda yang dengan sistimatik menguras serta mengkulikan penduduk Nusantara seperti
yang dilakukanya sebelum Inggris datang.
D. Politik
Kolonial Konservativ: Sistem Tanam Paksa
Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir
bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro 1825-1830),
dan Perang Paderi di Sumatera Barat (1821-1837), ongkos imperialisme Belanda
secara semena-mena diletakkan di atas pundak Jawa-Madura melalui Cultuurstelsel atau
Sistem Tanam Paksa antara 1830-1870. Gubernur Jendral Van den Bosch mendapat
izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan
utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit
anggaran pemerintah penjajahan yang besar. Sistem tanam paksa ini jauh lebih
keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan
penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC
wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu
dan sekaligus menjualnya pada harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Maka
tidak ada perkembangan yang bebas dari sistem pasar.
Sistem
tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835.
Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa. Cultuurstelsel(atau
secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Tanam Paksa) adalah peraturan yang
dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang mewajibkan
setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor,
khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada
pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen
diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah
harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah
yang menjadi semacam pajak.
Sistem
tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah
kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen
utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan
sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan
nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal
seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi
pemerintah.
Dengan
mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila
pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak
tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang,
desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.
Pemerintah
kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang
serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar
dunia sedang membubung, dibudidayakan.
Bagi
pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena
antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya
hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari
30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an,
72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia
Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya,
membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda
pun mengalami surplus.
Badan
operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel Maatchappij (NHM) merupakan
reinkarnasi VOC yang telah bangkrut. Untuk mendorong keberhasilan sistem ini di
tiap wilayah desa, kepala desa juga mendapatkan komisi atau persentase dari hasil
cultuurstelsel (tanam paksa) ini. Sistem ini tidak diberlakukan pada desa-desa
perdikan (desa bebas pajak) karena kewajiban khusus dari kekuasaan feodal
seperti mengurus makam dan memelihara pesantren.
Beberapa
perubahan sosial yang terjadi akibat sistem tanam paksa yang ditemukan oleh Onghokham (Tjondronegoro
dan Wiradi (peny):1984) Edi Cahyono (1991) dan Rajagukguk (1995) adalah: Pertama,
pengambil alihan tanah penduduk menjadi kepemilikan desa telah melahirkan
petani rumah tangga dengan kepemilikan tanah pertanian yang kecil. Para petani
kecil ini masih dibebani dengan kerja tambahan tersebut sehingga tidak dapat
mengembangkan diri meski mempunyai tanah garapan yang dapat mereka wariskan
kepada keturunan mereka. Kedua, kewajiban-kewajiban kerja dan kewajiban
penanaman tersebut telah mendorong kelahiran penduduk yang cepat di kalangan
petani untuk menurunkan beban kerja keluarga. Ketiga, sementara
itu, secara politik sistem ini juga telah menghidupkan pemerintahan Desa
menjadi struktur pemerintahan efektif mengontrol administrasi kewilayahan dan
penduduk. Sistem ini juga menjadikan kepemimpinan di wilayah Jawa menjadi
sangat otoriter. Keempat, Masyarakat petani mulai memanfaatkan
lahan pekarangan rumah untuk bertahan hidup dengan mempekerjakan perempuan dan
anak-anak mereka. Lahan pekarangan secara teori memang tidak dihitung pajaknya. Kelima,
Sistem tanam paksa telah menutup peranan ekonomi kalangan swasta untuk tumbuh
dan berperan baik dari kalangan priayi, tionghoa, arab maupun golongan
pengusaha Belanda sendiri. Keenam, Tanam paksa juga telah
melahirkan pengistilahan baru dalam lapisan-lapisan di masyarakat petani.
Istilah-istilah kuli kenceng (kewajiban penuh kerja bakti), kuli setengah
kenceng (tidak bertanggung jawa penuh) telah menggantikan istilah numpang dan
sikep. Sebab, semua pemilik tanah wajib menjalankan kerja bakti di tanah-tanah
cultuurstelsel. Dengan demikian tanam paksa telah mentransformasi
beberapa penduduk menjadi kuli/buruh (Prisma:1991) .
Tanam
paksa adalah era paling eksploatatif dalam praktek ekonomi Hindia Belanda.
Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC
karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan
pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada
VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga
yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan
sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal
Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.
Sistem
tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai
kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman
kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Program yang dijalankan
untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.
E. Politik
Kolonial Liberal : Ekonomi Swasta
Periode
sejarah Indonesia 1870 – 1900 sering disebut sebagai masa liberalimse. Pada
periode ini kaum pengusaha dan modal swasta diberikan peluang sepenuhnya untuk
menanamkan modalnya dalam berbagai usaha kegiatan di Indonesia terutama dalam
industri – industri perkebunan besar baik jawa maupun daerah – daerah luar
jawa. Selam amsa liberalisme ini modal swasta dari Belanda dan negara – negara
Eropa lainnya telah berhasil mendirikan berbagai perkebunan kopi, teh, gula dan
kina yang besar di Deli, Sumatera Timur.
Pada
tahun 1870 dikeluarkan Undang – Undang Agraria, yang bertujuan untuk melindungi
petani – petani Indonesia terhadap kehilangan hak milik atas tanah mereka
terhadap irang – orang asing. Sejak tahun ini industri – industri perkebunan
Eropa mulai masuk ke Indonesia. Terdapat perbedaan antara tanam paksa (culturestelsel)
dengan industri – industri perkebunan swasta pada masa liberal yaitu terlatak
pada bahwa dalam msa industri perkebunan liberal rakyat Indonesia bebas dalam
menggunakan tenaganya dan tanahnya, sedang dalam tanam paksa kedua alat
produksi itu dimiliki dan dikuasai oleh pemerintah. Seiring berkembangnya dunia
pertumbuhan industri Indonesia juga berkembang dengan adanya terussan Suez pada
tahun 1869 yasng memperpendek jarak antara Eropa dengan Asia.
Zaman
liberal mengakibatkan ekonomi uang masuk dalam kehidupan masyarakat Indonesia
terutama Jawa. Penduduk pribumi mulai menyewakan tanah – tanahnya kepada
perusahaan – perusahaan swasta Belanda untuk dijadikan perkebunan – perkebunan
besar. Masuknya pengaruh ekonomi Barat juga melalui impor barang – barang dari
negeri Belanda. Hilangnya matapencaharian penduduk di sector tradisional
mendorong lebih jauh pengaruh system ekonomi uang, karena memaksa penduduk
untuk mencari pekerjaan pada perkebunan – perkebunan besar milik orang Belanda
atau orang Eropa lainnya. Lapangan kerja baru yang tumbuh seiring dengan
berkembangnya industri – industri perkebunan besar di Indonesia adalah
perdagangan perantara.
Perkembangan
Ekonomi Hindia – Belanda
Kaum liberal berharap bahwa dengan dibebaskannya
kehidupan ekonomi dari segala campur tangan pemerintah serta penghapusan segala
unsure paksaan dari kehidupan ekonomi akan mendorong perkembangan ekonomi
Hindia Belanda. Dengan Undang – undang Agraria 1870 para pengusaha Belanda dan
Eropa dapat menyewa tanah dari pemerintah atau penduduk Jawa untuk membuka
perkebunan – perkebunan besar.
Setelah tahun 1885 perkembangan tanaman perdagangan mulai
berjalan lamban dasn terhambat, karena jatuhnya harga – harga gula dan kopi di
pasaran dunia. Dalam tahun 1891 harga tembakau turun drastis, sehingga
membahayakan perkebunan – perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Timur. Krisis
tahun 1885 mengakibatkan terjadinya reorganisasi dalam kehidupan ekonomi Hindia
– Belanda. Perkebunan – perkebunan besar tidak lagi sebagai usaha milik
perseorangan, tetapi direorganisasi sebagai perseroan – perseroan terbatas.
Pimpinan perkebunan bukan lagi pemiliknya secara langsung, tetapi oleh seorang
manager, artinya seorang pegawai yang digaji dan langsung bertanggungjawab
kepada direksi perkebunan yang biasa dipilih dan diangkat oleh pemilik saham.
Merosotnya
Kesejahteraan Rakyat Indonesia
Krisis perdagangan tahun 1885 juga mempersempit
penghasilan penduduk jawa, baik uang berupa upah bagi pekerjaan di perkebunan –
perkebunan maupun yang berupa sewa tanah. Politik kolonial baru yaitu kolonial
– liberal, semakin membuat rakyat menjadi miskin. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor :
1.
Kemakmuran rakyat ditentukan
oleh perbandingan antara jumlah penduduk dan faktor – faktor produksi lainnya
seperti tanah dan modal.
2.
Tingkat kemajuan rakyat
belum begitu tinggi, akibatnya mereka menjadi umpan kaum kapitalis. Mereka
belum mengenal sarekat kerja dan koperasi untuk memperkuat kedudukan mereka.
3.
Penghasilan rakyat masih
diperkecil oleh system voorschot (uang muka)
4.
Kepada rakyat Jawa
dipikulkan the burden of empire (pajak /beban kerajaan).
Sebagai akibat politik tidak campur tangan Belanda terhadap daerah luar jawa, pulau
Jawa harus membiayai ongkos – ongkos pemerintahan gubernmen diseluruh
Indonesia.
5.
Keuntungan mengalir di
negeri Belanda, pemerintah juga tidak menarik pajak dari keuntungan –
keuntungan yang didapat para pengusaha kapaitalis. Pemerintah menganut system
pajak regresif, yang sangat memberatkan golongan berpendapatan
rendah.
6.
Meskipun system tanam
paksa telah dihapuskan tetapi politik batig – slot belum
ditinggalkan.
7.
Krisis tahun 1885
mengakibatkan terjadinya pinciutan dalam kegiatan pengusaha – pengusaha perkebunan
gula, yang berarti menurunnya upah kerja sewa tanah bagi penduduk. Krisis ini
diperberat dengan timbulnya penyakit sereh pada tanaman tebu,
sehingga akhirnya pulau Jawa dalam waktu lama dijauhi oleh kaum kapitalis
Belanda.
F. Masa
Pendudukan Jepang
Pendudukan
Jepang di Indonesia dengan berlangsungnya perang Dunia kedua di kawasan Asia
Pasifik, (1941-1945) Jepang berambisi untuk menguasai negara-negara Asia dan
merebutnya dari negara-negara imperalis barat. Tujuannya selain untuk
kepentingan supremasi (keunggulan dan kekuasaan) Jepang juga menjadikan
daerah-daerah di asia sebagai tempat menanamkan modal, serta memasarkan hasil
industrinya. Sejak awal abad 20 Jepang telah menjadi negara industri dan mulai
melaksanakan imperialisme modern saat itu Jepang berhasil menduduki korea dan
cina. Negara raksasa cina didudukinya pada tahun 1937.
Ketika Jepang menduduki indocina, pada juli 1941 AS tidak menyetujui tindakan tersebut. Tindakan protes AS dilakukan dengan menghentikan penjualan karet, baja lemepngan, minyak bumi dan lain-lain yang sangat dibutuhkan jepang. Jepang memutuskan untuk menyerang daerah-daerah koloni eropa di Asia Tenggara tujuannya untuk memperoleh barang-barang kebutuhan perang. Dengan itu Jepang yakin bahwa serangan tersebut menimbulkan perang dengan as. Jepang mendahului serangan terhadap pearl habour, hawaii. Pada 7-12-1941. setelah menghancurkan pearl harbour, Jepang meneruskan serangan ke filifina pada 10 Desember 1941 dan berhasil menduduki luzon dan batoon, lalu pada tanggal 16 Desember berhasil menduduki burma. Akhirnya pada 11 januari Jepang mendarat di Indonesia yaitu dirasakan kalimantan timur dan berhasil menduduki pulau kalimantan. Dari kalimantan Jepang meneruskan serangannya ke jawa sebagai pusat bertahan belanda, dan mulai menduduki daerah-daerah lainnya.
Ketika Jepang menduduki indocina, pada juli 1941 AS tidak menyetujui tindakan tersebut. Tindakan protes AS dilakukan dengan menghentikan penjualan karet, baja lemepngan, minyak bumi dan lain-lain yang sangat dibutuhkan jepang. Jepang memutuskan untuk menyerang daerah-daerah koloni eropa di Asia Tenggara tujuannya untuk memperoleh barang-barang kebutuhan perang. Dengan itu Jepang yakin bahwa serangan tersebut menimbulkan perang dengan as. Jepang mendahului serangan terhadap pearl habour, hawaii. Pada 7-12-1941. setelah menghancurkan pearl harbour, Jepang meneruskan serangan ke filifina pada 10 Desember 1941 dan berhasil menduduki luzon dan batoon, lalu pada tanggal 16 Desember berhasil menduduki burma. Akhirnya pada 11 januari Jepang mendarat di Indonesia yaitu dirasakan kalimantan timur dan berhasil menduduki pulau kalimantan. Dari kalimantan Jepang meneruskan serangannya ke jawa sebagai pusat bertahan belanda, dan mulai menduduki daerah-daerah lainnya.
1. AWAL KEDATANGAN DAN MASA PENDUDUKAN JEPANG DI
INDONESIA
Awal kedatangan Pendudukan Jepang di Indonesia di kota Tarakan pada 10 januari 1942, selanjutnya Jepang melebarkan sayapnya hingga ke Minahasa, Balikpapan, Ambon, Pontianak, Makassar, Banjarmasin, Palembang dan Bali yang berhasil dikuasai Jepang dari kurang waktu Jan- Feb 1942, sedangkan ibukota Jakarta di duduki pada tanggal 05 Maret 1942. Tentara Belanda yang pada saat itu masih berkuasan di Indonesia ke, kesalahan menghadapi serangan tentara Jepang, dan akhirnya Belanda menyerah tanpa syarat pada Jepang tepatnya pada tanggal 08 Maret 1942 di Kalijati-Subang.
PEMBAGIAN 3 WILAYAH INDONESIA OLEH JEPANG
Masa pendudukan Jepang di Indonesia berbeda dengan masa penjajahan Belanda pada penjajahan Belanda pemerintah di pegang oleh pemerintah sipil sedangkan massa pendudukan Jepang di pimpin oleh militer dalam menjalankan pemerintahannya di Indonesia di bagi dalam 3 wilayah kekuasaan militer yaitu sebagai berikut :
a. Wilayah I, meliputi P. Jawa dan Madura dengan pusat komando pertahanan di Batavia dipimpin oleh ke-16 AD
b. Wilayah II, meliputi P. Sumatera dan Kepulauan di sekitarnya dengan pusat komando pertahanan di bukit tinggi dipimpin oleh tentara ke-25 AD.
c. Wilayah III, meliputi p. Kalimantan, sulawesi, sulawesi, maluku, bali dan nusa tenggara dengan pusat komando pertahanan di makasar dipimpin oleh Armada Selatan ke-2 Al di Makassar.
UPAYA JEPANG YANG MELIBATKAN RAKYAT INDONESIA
Jepang yang menanamkan bangsa dan negerinya Nippon berusaha mengarahkan semua di Indonesia untuk mendukung dalam perang melawan sekutu, selain itu Jepang berupaya untuk mempertahankan wilayah Indonesia dari ancaman sekutu dengan cara melibatkan rakyat Indonesia dalam beberapa organisasi antara lain :
a. Gerakan Tiga A Dibentuk pada tanggal 29 April 1942 yang diketuai oleh Mr. Syamsudin latar belakang pendirian gerakan tiga A adalah membantu Jepang dalam menghadapi sekutu.
- Nippon Cahaya Asia
- Nippon Pelindung Asia
- Nippon Pemimpin Asia
b. Pusat Tenaga Rakyat (Putera) Dipimpin oleh empat serngkai, yakni Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, ki Hadjar Dewantara dan K.H. Mas mansur. Dibentuk pada bulan agustus 1942 dan diresmikan pada tanggal 1 Maret 1943, tujuannya untuk Jepang ialah untuk memusatkan seluruh kekuatan rakyat dalam rangka membantu usaha jepang.
c. Cholo Sangi In (Badang Pertimbangan Pusat) Dibentuk tanggal 3 september 1943, diketuai Jenderal Tojo (Perdana Menteri jepang), anggota berjumlah 43 orag, 23 orang diangkat Jepang 18 orang utusan kresidenan dan kotapraja jakarta raya, dan 2 orang utusan di Yogyakarta dan surakarta.
d. Jawa Kokokai Pada tahun 1944, panglima tentara Jepang yang menduduki jawa menyatakan berdirinya organisasi "jawa hokokai' atau Himpunan kebaktian Jawa, sebagai organisasi resmi pemerintah. Tugas mengerahkan rakyat untuk mengumpulkan padi, permata, besi tua, pajak, dan menanam tamanan jarak sebagai bahan baku minyak pelumas untuk jepang.
EKSPLOITASI SUMBER DAYA ALAM DAN TENAGA KERJA INDONESIA OLEH JEPANG Pemerintah pendudukan Jepang merupakan pemerintahan militer. Oleh karena itu, sesuai dengan keadaan perang pada saat itu, semua jenis kegiatan diarahkan untuk kepentingan perang. Pemerintah pendudukan Jepang telah melakukan eksploitasi secara besar-besaran terhadap sumber daya alam Indonesia serta tenaga manusia yang ada demi memenangkan perang melawan sekutu.
1. Cara-cara Jepang di Indonesia mengeksploitasi sumber kekayaan alam
a. Petani harus menyerahkan hasil panen, ternak dan harta milik serta mereka yang lain kepada pendudukan Jepang untuk biaya perang asia pasifik.
b. Hasil kekayaan alam di Indonesia yang berupa hasil tambang perkebunan dan hutan di angkut ke jepang.
c. Jepang memaksa penduduk untuk menanam pohon jarak pada lahan pertanian.
2. Cara I Jepang di indonesia mengeksploitasi tenaga kerja
a. Romusha, kerja paksa tanpa upah.
b. Kinrohosi, kerja paksa tanpa upah bagi tokoh masyarakat
c. Wajib Militer
1) Seinendan (Barisan Pemuda) dibentuk tanggal 9 Maret 1943 bertugas sebagai tentara melawan sekutu.
2) Keibodan (Barisan pembantu polisi) dibentuk pada tanggal 29 April 1943 bertugas menjaga keamanan desa.
3) Fujinkai (Barisan wanita) dibentuk agustus 1943 bertugas sebagai anggota palang merah dan sebagai wanita penghibur.
4) Jawa Hokokai (Pehimpunan kebaktian Raya Jawa) dikebumikan 1 maret 1944.
5) Suishintai (Barisan Pelopor)
6) Heiho (Pembantu Prajurit Jepang)
7) Peta (Pembela Tanah Air)
PERGERAKAN MASSA DAN PERLAWANAN TERHADAP JEPANG
Ada dua strategi yang digunakan para pejuang Indonesia dalam menghadapi pemerintah penduduk Jepang, yakni :
1. Kooperatif, cara bekerja sama dengan Jepang, dengan mengikuti organisasi-organisasi Jepang. Dengan demikian mereka mendapat pelajaran militer dari organisasi-organisasi tersebut.
2. Non kooperatif penduduk strategi non kooperatif, tidak mau bekerjasama dengan Jepang mereka membentuk organisasi, antara lain :
a. Kelompok Syahrir, beranggotakan kaum terpelajar di berbagai kota.
b. Kelompok Amir Syarifudin yang antifasis dan menolak bekerja sama dengan Jepang
c. Golongan Persatuan Mahasiswa yang sebagian besar anggotanya adalah mahasiswa kedokteran
d. Kelompok Sukarni, yang anggotanya antara lain Adam Malik, Pandu Wiguna, Chaerul Saleh dan Maruto Mitimiharjo
e. Golongan Kaigun, yang anggotanya bekerja pada angkatan laut Jepang
f. Pemuda Menteng, yang bermarkas di Gedung Menteng 31 Jakarta.
Perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh rakyat Indonesia
1. Perlawanan rakyat Cot Plieng dekat Lhok Seumawe – Aceh Perlawanan ini terjadi pada tanggal 10 November 1942 Tengku Abdul Jalil.
2. Pemberontakan di Singaparna, Tasikmalaya pimpinan K.H. Zainal Mustafa, hari jum’at tanggal 25 Februari 1944.
3. Pemberontakan rakyat dibiak
4. Pemberontakan rakyat di indramayu
AKHIR KEKUASAAN JEPANG DI INDONESIA Pada akhir tahun 1944, Jepang semakin terdesak, beberapapusat pertahanan di Jepang termasuk kepulauan saipan jatuh ke tangan Amerika Serikat. Terdesaknya pasukan Jepang diberbagai front menjadi berita menggembirakan bagi bangsa Indonesia. Harapan bangsa Indonesia agar terjadi perubahan sikap terhadap penguasa Jepang ternyata terwujud. Jepang semakin terpuruk, semangat tempur tentara Jepang makin merosot dan persediaan senjata dan amunisi terus berkurang dan banyak kapal perang yang hilang, keadaan semakin diperburuk dengan perlawanan rakyat yang semakin menyala. Pada tanggal 17 Jui 1944, Jenderal Nideki Tojo diganti oleh Jenderal Koniaki Koiso. Pada tanggal 7 september 1994 jenderal koiso memberikan janji kemerdekaan kepada Indonesia dikemudian hari. Pada 1 Maret 1945, panglima Jepang letnan jenderal kumakici horada mengumumkan pembentukan badan penyelidikan usaha-usaha persiapan kemerdekan Indonesia (BPUPKI) Seiring berjalannya BPUPKI pada tanggal 6 Agustus 1945 kota Hirosima dibom atom oleh sekutu dan pada tanggal 7 Agustus 1945 dibubarkannya BPUPKI dan dibentuklah PPKI (Panitia persiapan kemerdekana Indonesia). PPKI yang dipimpin oleh ir. Soekarno beserta Moh. Hatta dan Dr. Rajiman Widyadiningrat berangkat ke dalat, vietnam pada 2 Agustus 1945 bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kemerdekaan Indonesia. Bersamaan dengan itu ktoa nagasaki dibom atom oleh sekutu. Akhirnya pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu dan berakhirnya juga masa pendudukan Jepang di Indonesia.
DAMPAK PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA Pendudukan Jepang di Indonesia memberikan dampak positif dan dampak negatif adapun dampak tersebut adalah sebagai berikut :
1. Dampak positif
a. Rakyat Indonesia mempunyai rasa disiplin yang diterapkan Jepang
b. Rakyat Indonesia dapat berorganisasi
2. Dampak Negatif
a. Bidang sosial
- Kondisi ekonomi rakyat yang semakin menurun
- Kehidupan rakyat Indonesia di pedesaan makin parah
b. Bidang ekonomi
- Perampasan kekayaan rakyat
- Produksi pertanian makin menurun
- Sandang pangan sulit didapatkan
c. Bidang Politik
Tokoh-tokoh pergerakan nasional ditindas karena tidak mau bekerja sama dengan jepang
G. Reaksi-Reaksi
Bangsa Indonesia Terhadap Kolonialisme
1. Perlawanan
Rakyat Maluku di Bawah Ahmad Matullesi (1817)
Sejak abad ke-17 perlawanan rakyat Maluku terhadap Kompeni sudah terjadi, namun perlawanan yang dahsyat baru muncul pada permulaan abad ke-19, di bawah pimpinan Ahmad Matulessi (lebih dikenal dengan nama Pattimura).
Latar belakang timbulnya perlawanan Pattimura, di samping adanya tekanan-tekanan yang berat di bidang ekonomi sejak kekuasaan VOC juga dikarenakan hal sebagai berikut.
a. , yakni adanya tindakan-tindakan pemerintah Belanda yang memperberat kehidupan rakyat, seperti system penyerahan secara paksa, kewajiban kerja blandong, penyerahan atap dan gaba-gaba, penyerahan ikan asin, dendeng dan kopi. Selain itu, beredarnya uang kertas yang menyebabkan rakyat Maluku tidak dapat menggunakannya untuk keperluan sehari-hari karena belum terbiasa.
Sejak abad ke-17 perlawanan rakyat Maluku terhadap Kompeni sudah terjadi, namun perlawanan yang dahsyat baru muncul pada permulaan abad ke-19, di bawah pimpinan Ahmad Matulessi (lebih dikenal dengan nama Pattimura).
Latar belakang timbulnya perlawanan Pattimura, di samping adanya tekanan-tekanan yang berat di bidang ekonomi sejak kekuasaan VOC juga dikarenakan hal sebagai berikut.
a. , yakni adanya tindakan-tindakan pemerintah Belanda yang memperberat kehidupan rakyat, seperti system penyerahan secara paksa, kewajiban kerja blandong, penyerahan atap dan gaba-gaba, penyerahan ikan asin, dendeng dan kopi. Selain itu, beredarnya uang kertas yang menyebabkan rakyat Maluku tidak dapat menggunakannya untuk keperluan sehari-hari karena belum terbiasa.
b. , yaitu adanya pemecatan guru-guru sekolah akibat pengurangan sekolah dan gereja, serta pengiriman orang-orang Maluku untuk dinas militer ke Batavia. Hal-hal tersebut di atas merupakan tindakan penindasan pemerintah Belanda terhadap rakyat Maluku. Oleh karena itu, rakyat Maluku bangkit dan berjuang melawan imperialisme Belanda. Aksi perlawanan meletus pada tanggal 15 Mei 1817 dengan menyerang Benteng Duurstede di Saparua. Setelah terjadi pertempuran sengit, akhirnya Benteng Duurstede jatuh ke tangan rakyat Maluku di bawah pimpinan Pattimura. Banyak korban di pihak Belanda termasuk Residen Belanda, Van den Berg ikut terbunuh dalam pertempuran.
Kemenangan atas pemerintah kolonial Belanda memperbesar semangat perlawanan rakyat sehingga perlawanan meluas ke Ambon, Seram dan pulau-pulau lain. Di Hitu perlawanan rakyat muncul pada permulaan bulan Juni 1817 di bawah pimpinan Ulupaha. Rakyat Haruku di bawah pimpinan Kapten Lucas Selano, Aron dan Patti Saba. Situasi pertempuran berbalik setelah datangnya bala bantuan dari Batavia di bawah pimpinan Buyskes. Pasukan Belanda terus mengadakan penggempuran dan berhasil menguasai kembali daerah-daerah Maluku. Perlawanan semakin mereda setelah banyak para pemimpin tertawan, seperti Thomas Matulessi (Pattimura), Anthonie Rhebok, Thomas Pattiweal, Lucas Latumahina, dan Johanes Matulessi. Dalam perlawanan ini juga muncul tokoh wanita yakni Christina Martha Tiahahu. Sebagai pahlawan rakyat yang tertindas oleh penjajah. Tepat pada tanggal 16 Desember 1817, Thomas Matulessi dan kawan-kawan seperjuangannya menjalani hukuman mati di tiang gantungan.
2.Perlawanan Kaum Paderi (1821–1838 )
Perang Paderi melawan Belanda berlangsung 1821–1838, tetapi gerakan Paderi sendiri sudah ada sejak awal abad ke-19. Di lihat dari sasarannya, gerakan Paderi dapat dibagi menjadi dua periode.
a. Periode 1803–1821 adalah masa perang Paderi melawan Adat dengan corak keagamaan.
b. Periode 1821–1838 adalah masa perang Paderi melawan Belanda dengan corak keaga-
maan dan patriotisme.
Sejak tahun 1821 saat kembalinya tiga orang haji dari Mekkah, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piabang, gerakan Paderi melawan kaum Adat dimulai. Kaum Paderi berkeinginan memperbaiki masyarakat Minangkabau dengan mengembalikan kehidupannya yang sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Padahal kaum Adat justru ingin melestarikan adat istiadat warisan leluhur mereka.
Adat yang selama itu dianut dan yang menjadi sasaran gerakan Paderi adalah kebiasaan-kebiasaan buruk, seperti menyabung ayam, berjudi, madat, dan minum-minuman keras. Terjadilan perbenturan antara kaum Adat dengan kaum Paderi. Kaum Adat yang merasa terdesak, kemudian minta bantuan kepada pihak ketiga, yang semula Inggris kemudian digantikan oleh Belanda (berdasarkan Konvensi London).
Perang Paderi melawan Belanda meletus ketika Belanda mengerahkan pasukannya menduduki Semawang pada tanggal 18 Februari 1821. Masa Perang Paderi melawan Belanda dapat dibagi menjadi tiga periode.
a. Periode 1821–1825, ditandai dengan meletusnya perlawanan di seluruh daerah Minangkabau. Di bawah pimpinan Tuanku Pasaman, kaum Paderi menggempur pos-pos Belanda yang ada di Semawang, Sulit Air, Sipinan, dan tempat-tempat lain. Pertempuran menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. Tuanku Pasaman kemudian mengundurkan diri ke daerah Lintau. Sebaliknya, Belanda yang telah berhasil menguasai Lembah Tanah Datar, kemudian mendirikan benteng pertahanan di Batusangkar (Fort Van den Capellen).
b. Periode 1825–1830, ditandai dengan meredanya pertempuran. Kaum Paderi perlu menyusun kekuatan, sedangkan pihak Belanda baru memusatkan perhatiannya menghadapi perlawanan Diponegoro di Jawa.
c. Periode 1830–1838, ditandai dengan perlawanan di kedua belah yang makin menghebat. Pemimpin di pihak Belanda, antara lain Letkol A.F. Raaff, Kolonel de Stuer, Mac. Gillavry dan Elout, sedangkan di pihak Paderi ialah Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Renceh, Tuanku nan Gapuk, Tuanku Hitam, Tuanku Nan Cerdik dan Tuanku Tambusi.
Pada tahun 1833, Belanda mengeluarkan Pelakat Panjang yang isinya, antara lain sebagai berikut.
a.Penduduk dibebaskan dari pembayaran pajak yang berat dan kerja rodi.
b.Belanda akan bertindak sebagai penengah jika terjadi perselisihan antar penduduk.
c.Penduduk boleh mengatur pemerintahan sendiri.
d.Hubungan dagang hanya diperbolehkan dengan Belanda.
Belanda menjalankan siasat pengepungan mulai masuk tahun 1837 terhadap Benteng Bonjol. Akhirnya, Benteng Bonjol berhasil dilumpuhkan oleh Belanda. Selanjutnya, Belanda mengajak berunding kaum Paderi yang berujung pada penangkapan Tuanku Imam Bonjol (25 Oktober 1837). Setelah ditahan, Tuanku Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, dipindahkan ke Ambon (1839), dan tahun 1841 dipindahkan ke Manado hingga wafat tanggal 6 November 1864.Perlawanan kaum Paderi kemudian dilanjutkan oleh Tuanku Tambusi. Setelah Imam Bonjol tertangkap, akhirnya seluruh Sumatra Barat jatuh ke tangan Belanda. Itu berarti seluruh perlawanan dari kaum Paderi berhasil dipatahkan oleh Belanda.
3.Perlawanan Pangeran Diponegoro (1825–1830)
Pengaruh Belanda di Surakarta dan Yogyakarta semakin bertambah kuat pada permulaan abad ke-19. Khususnya di Yogyakarta, campur tangan Belanda telah menimbulkan kekecewaan di kalangan kerabat keraton yang kemudian menimbulkan perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Sebab-sebab perlawanan Diponegoro, antara lain sebagai berikut.
a.Adanya kekecewaan dan kebencian kerabat istana terhadap tindakan Belanda yang makin intensif mencampuri urusan keraton melalui Patih Danurejo (kaki tangan Belanda).
b.Adanya kebencian rakyat pada umumnya dan para petani khususnya akibat tekanan pajak yang sangat memberatkan.
c.Adanya kekecewaan di kalangan para bangsawan, karena hak-haknya banyak yang dikurangi.
d.Sebagai sebab khususnya ialah adanya pembuatan jalan oleh Belanda melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo.
Pertempuran perrtama meletus pada tanggal 20 Juli 1825 di Tegalrejo. Setelah pertempuran di Tegalrejo, Pangeran Diponegoro dan pasukannya menyingkir ke Dekso. Di daerah Plered, pasukan Diponegoro dipimpin oleh Kertapengalasan yang memiliki kemampuan yang cukup kuat. Kabar mengenai pecahnya perang melawan Belanda segera meluas ke berbagai daerah. Dengan dikumandangkannya perang sabil, di Surakarta oleh Kiai Mojo, di Kedu oleh Kiai Hasan Besari, dan di daerah-daerah lain maka pada pertempuran-pertempuran tahun 1825–1826 pasukan Belanda banyak terpukul dan terdesak.
Melihat kenyatan ini, kemudian Belanda menggunakan usaha dan tipu daya untuk mematahkan perlawanan, antara lain sebagai berikut.
a.Siasat benteng stelsel, yang dilakukan oleh Jenderal de Kock mulai tahun 1827.
b.Siasat bujukan agar perlawanan menjadi reda.
c.Siasat pemberian hadiah sebesar 20.000,- ringgit kepada siapa saja yang dapat menang-
kap Pangeran Diponegoro.
d. Siasat tipu muslihat, yaitu ajakan berunding dengan Pangeran Diponegoro dan akhirnya ditangkap.
Dengan berbagai tipu daya, akhirnya satu per satu pemimpin perlawanan tertangkap dan menyerah, antara lain Pangeran Suryamataram dan Ario Prangwadono (tertangkap 19 Januari 1827), Pangeran Serang, dan Notoprodjo (menyerah 21 Juni 1827, Pangeran Mangkubumi (menyerah 27 September 1829), dan Alibasah Sentot Prawirodirdjo (menyerah tanggal 24 Oktober 1829). Kesemuanya itu merupakan pukulan yang berat bagi Pangeran Diponegoro.
Melihat situasi yang demikian, pihak Belanda ingin menyelesaikan perang secara cepat. Jenderal de Kock melakukan tipu muslihat dengan mengajak berunding Pangeran Diponegoro. De Kock berjanji apabila perundingan gagal maka Diponegoro diperbolehkan kembali ke pertahanan. Atas dasar janji tersebut, Diponegoro mau berunding di rumah Residen Kedu, Magelang pada tanggal 28 Maret 1830. Namun, De Kock ingkar janji sehingga Pangeran Diponegoro ditangkap ketika perundingan mengalami kegagalan. Pangeran Diponegoro kemudian di bawa ke Batavia, dipindahkan ke Menado, dan pada tahun 1834 dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya pada tanggal 8 Januari 1855.
4. Perlawanan di Kalimantan Selatan (1859–1905)
Di Kalimantan Selatan, Belanda telah lama melakukan campur tangan dalam urusan Istana Banjar. Puncak kebencian terhadap Belanda dan akhirnya meletus menjadi perlawanan, ketika terjadi kericuan pergantian takhta Kerajaan Banjar setelah wafatnya Sultan Adam tahun 1857. Dalam hal ini Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan Banjar.
Rakyat tidak mau menerima sebab Pangeran Hidayat yang lebih berhak dan lebih disenangi rakyat. Pertempuran rakyat Banjar melawan Belanda berkobar pada tahun 1859 di bawah pimpinan Pangeran Antasari. Dalam pertempuran ini Pangeran Hidayat berada di pihak rakyat. Tokoh-tokoh lain dalam pertempuran ini, antara lain Kiai Demang Leman, Haji Nasrun, Haji Buyasin, Tumenggung Suropati, dan Kiai Langlang. Pasukan Antasari menyerbu pos-pos Belanda yang ada di Martapura dan Pangron pada akhir April 1859. Di bawah pimpinan Kiai Demang Leman dan Haji Buyasin pada bulan Agustus 1859 pasukan Banjar berhasil merebut benteng Belanda di Tabanio. Ketika pertempuran sedang berlangsung, Belanda memecat Pangeran Hidayat sebagai mangkubumi karena menolak untuk menghentikan perlawanan.
Pada tanggal 11 Juni 1860 jabatan sultan kosong (karena Sultan Tamjidillah diturunkan dari takhtanya oleh pihak Belanda, Andresen) dan jabatan mang-kubumi dihapuskan. Dengan demikian, Kerajaan Banjar dihapuskan dan dimasukkan dalam wilayah kekuasaan Belanda. Pertempuran terus meluas ke berbagai daerah, seperti Tanah Laut, Barito, Hulu Sungai Kapuas, dan Kahayan. Dalam menghadapi serangan-serangan ini, Belanda mengalami kesulitan, namun setelah mendapatkan bantuan dari luar akhirnya Belanda berhasil mematahkan perlawanan rakyat. Pada tanggal 3 Februari 1862, Pangeran Hidayat tertangkap dan dibuang ke Jawa. Pangeran Antasari yang pada tanggal 14 Maret 1862 diangkat oleh rakyat sebagai pemimpin tertinggi agama Islam dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifahtul Mukminin gugur dalam pertempuran di Hulu Teweh pada tanggal 11 Oktober 1862. Sepeninggal Pangeran Antasari, perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan oleh teman-teman seperjuangan. Perlawanan rakyat benar-benar dapat dikatakan padam setelah gugurnya Gusti Matseman tahun 1905.